Sabtu, 04 Mei 2013

“MEMAKNAI BERAS KETAN DALAM RITUAL ADAT MAANYAN”


Nama          : Aries Kristianto
Nim           : 10.15.33
Dosen pengampu : DR. Rama Tulus P
Dalam rangka proposal dan skripsi, yg membaca mohon jangan lupa mencantumkan saya sebagai penulisnya sebagai bahan referensi anda...
FENOMENOLOGI AGAMA
“MEMAKNAI BERAS KETAN DALAM RITUAL ADAT MAANYAN”
Dari beberapa materi yang telah dibahas dalam mata kuliah fenomenologi agama. Ada pembahasan yang menurut saya sangat menarik yaitu mengenai “simbol”. Dalam setiap agama memiliki simbol masing-masing  dalam rangka memperkenalkan identitas agamanya serta dirinya sendiri. Dalam hal ini, simbol dianggap sakral dan memiliki makna khusus yang sangat dihormati oleh penganutnya dan juga dihormati oleh orang lain. Simbol juga memiliki kekuatan yang membangun emosi-emosi yang ada pada diri manusia kemudian tercurah pada citraan-citraan tersebut, karena citraan ini adalah satu-satunya obyek yang konkrit tempat mereka mencurahkan diri dan perasaan mereka[1] dalam arti lain, ada mitos dibalik keberadaan simbol tersebut.
Saya tertarik dengan keberadaan beras ketan karena tanpa kita sadari beras ketan ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Secara khusus dalam masyarakat dayak maanyan, beras ketan ini menjadi salah satu simbol penting yang harus ada dalam setiap upacara adat. Dalam hal ini beras ketan mengambil bagian terpenting, dimana setiap syarat dalam upacara adat baik itu angkat sodara, angkat orang tua, angkat anak, tampung tawar, perkawinan maupun upacara adat lainnya bahkan dalam kekristenan khususnya dalam pemenuhan hukum adat perkawinanpun beras ketan menjadi simbol yang sangat penting. Jika beras ketan tidak ada, maka syarat tersebut pun tidak lengkap sehingga mengurangi kesakralannya.
Mitos dibalik simbol ketan, pada awalnya adalah pemberian Tuhan yang diberikanNya melalui para malaikat untuk manusia. Benda tersebut dalam bahasa Maanyan adalah wini atau bibit yaitu beras lungkung, beras gilai dan beras dite atau ketan yang diturunkan secara bersamaan. Ketiga wini atau bibit beras tersebut menjadi sumber kehidupan manusia karena pada mulanya manusia itu ngume atau berladang.[2] Sedangkan peran beras ketan yang selalu menjadi hal terpenting karena dipercaya sebagai perekat baik itu perekat rejeki maupun perekat jodoh sesuai dengan tujuan upacara dan jenis upacara adat tersebut.
Banyak hal yang menarik mengenai keberadaan beras ketan ini. Ada sebagian orang memiliki sudut pandang yang lebih ekstrim lagi yaitu menyebut kata “mau makan ketan” saja dianggap suatu hal tabu karena jika sudah menyebutnya tapi tidak kesampaian dipercaya membawa kesialan yang berupa marabahaya. Sehingga dalam hal ini perlu untuk dikritisi dalam rangka mengontekstualkannya dengan pandangan agama kristen dalam budaya masa kini. Maksudnya adalah, bagaimana orang-orang kristen masa kini memaknai beras ketan ini sebagai suatu aspek budaya dan didalamnya ada nilai-nilai luhur yang harus dijaga keberadaannya tanpa mengurangi kesakralannya.
Sumbangsihnya bagi GKE, yaitu dari sudut pandang pemaknaan beras ketan itu sendiri. Dimana beras ketan dipercaya sebagai perekat karena memiliki suatu kekuatan yang ilahi untuk kebaikan manusia serta dianggap berkat dari Yang Maha Kuasa. Makna tersebut dapat kita terapkan di lingkungan warga gke sebagai suatu nilai positif yang penting untuk membangun suatu ikatan yang kuat dikalangan warga gke masa kini. Dengan kata lain, sebagai perekat diantara warga jemaat, pdt dan gereja.



[1] Pembelajaran mata kuliah fenomenologi, oleh bpk pdt dr. Rama tulus p, mengenai “sombol”
[2] Sumber Hasil wawancara Heria dengan bapak Batarius seorang tokoh adat di Desa Murutuwu kecamatan Paju epat, Via seluler.

1 komentar: