AGAMA DAN NEGARA
Istilah
“Negara” ini adalah terjemahan dari kata asing yaitu state (bahasa
Inggris), staat (bahasa Belanda dan
Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata-kata asing itu pun diambil dari kata status atau statum (bahasa Latin) yang berarti keadaan yang tegak dan tetap
atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara
terminologi, Negara adalah organisasi tertinggi di antara kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita
untuk bersatu dan hidup dalam suatu daerah tertentu, mempunyai sistem
pemerintahan yang berdaulat dimana terdapat kekuasaan secara sah yang diatur
oleh hukum. Sehingga unsur pembentuk Negara yaitu masyarakat (rakyat), adanya
wilayah (daerah), adanya pemerintahan,[1]
dan adanya pengakuan dari Negara lain (secara pengakuan de facto dan pengakuan
de jure).[2]
Menurut
Aristoteles munculnya Negara tidak dapat dipisahkan dari watak politik manusia.
Manusia adalah zoon
politicon, mahluk yang berpolitik itu adalah
watak alamiahnya sehingga Negara dibutuhkan sebagai sarana untuk aktualisasi
watak manusia. Aristoteles menganalogikan Negara sebagai organism tubuh. Negara
lahir pada mulanya dalam bentuk yang sederhana ( primitife) kemudian berkembang
menjadi kuat dan dewasa, ataupun suatu ketika dapat hancur atau tenggelam dalam
sejarah. Formasi Negara terjadi dalam proses perkembangan persekutuan hidup sesuai dengan kodratnya. Negara terbentuk
karena adanya manusia saling membutuhkan. Kebutuhan hidup yang tidak bisa
terpenuhi secara sempurna apabila manusia tidak saling membutuhkan. Itulah sebabnya dalam kehidupan
kemasyarakatan dan Negara akan selalu terjadi hubungan saling ketergantungan
antara individu dalam masyarakat. Ketika Negara bersifat organis, maka semua
warga Negara berkewajiban dan memiliki
tanggungjawab memelihara persatuan dan kesatuan demi keutuhan Negara dan
memlihara keamanan.
Aristoteles juga
mengatakan bahwa Negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, namun itu
bukan berarti Negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Tujuan dibentuknya
Negara adalah untuk mensejahterakan seluruh warga Negara bukan
individu-individu tertentu ( seperti gagasan Plato), Negara berupaya
memanusiakan manusia. Bentuk Negara
ideal yang dikonsepsikan oleh Aristoteles itu terkait erat dengan aspek
moralitas.[3]
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa
Sanskerta, āgama yang
berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja
re-ligare yang berarti
"mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat
dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah
suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin
berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah,
mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.[4]
Agama dan Negara adalah dua hal
yang berbeda namun keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Ketika agama merupakan sebuah tatanan yang menjadi filter manusia untuk
melakukan sesuatu dalam setiap aspek kehidupan, demikaian pula halnnya dengan
Negara yang menjadi tempat dan wadah bagi manusia itu sendiri untuk berkarya.
Agama dan Negara dalam pakteknya
seringkali bersisian namun acap kali bertolak belakang. Apa yang benar menurut
Negara belum tentu sesuai dengan ajaran agama. Agama bagi kalangan tertentu
kadang kala dijadikan alasan untuk membenarkan setiap tindak tanduk yang
ujung-ujungnya hanya untuk kepentingan kelompok semata. Khususnya yang terjadi
di Indonesia .
Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan pada pancasila dimana salah satu silanya menyatakan kebebasan
beragama bagi seluruh rakyatnya, namun kenyataan di lapangan tidaklah demikian.
Hal ini terlihat dari banyaknya Perda
yang terkesan pro terhadap agama tertentu, namun membawa kerugian bagi penganut
agama yang berbeda. Penetapan Perda
tersebut seakan-akan mengesampingkan hak
pemeluk agama lain. Padahal
seharusnnya
agama menjadi filter bagi setiap tindak-tanduk penganutnya dan
mengajarkan
untuk saling menghormati.oleh karena itu seharusnya pemerintah
benar-benar dapat memberikan solusi atau sebagai penengah antara
masyarakat agama tidak memihak pada salah satu saja.
[1]
www.andhikafrancisco.wordpress.com/2013/01/03/makalah-relasi-agama-dan-negara/,
diakses pada tanggal 30 Oktober 2013 pukul 17.30 Wita.
[2] Gmcrime.blogspot.com/2010/04/unsure-unsur-terbentuknya-negara.html,
diakses pada tanggal 30 Oktober
2013 pukul 17.30 Wita
[3] bnd Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah
Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hal 41-46.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama