Konteks patrialkhat
dalam Alkitab dan masyarakat Asia pada umumnya
Patriarkhal
adalah garis keturunan Ayah atau laki-laki. Budaya ini berasal dari kebudayaan
bangsa Israel. Dalam Alkitab secara umum membicarakan masalah budaya patriakat.
Berangkat dari perjanjian lama, nabi-nabi, hakim, raja dan imam itu kebanyakan laki-lak.
Memang ada perempuan berperan namun transparan dan jarang dimunculkan, seperti
Hawa, Miryam, Sara, Ribka, Zhipora, Debora, Betsyeba. Selain itu dalam
perjanjian baru, juga demikian halnya. Mulai dari peran mesias yang harus
laki-laki, padahal secara logika mengapa tidak perempuan yang menjadi mesias?
Hal ini juga merupakan pengaruh dari budaya patriakat yang menjunjung tinggi
kaum laki-laki. Kembali dalam perjanjian baru, banyak perempuan yang bertindak
ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah, namun tidak begitu di tonjolkan.
Seperti Maria, Febe (pelayan jemaat Kengkrea), dan perempuan-perempuan yang setia
mendampingi Yesus sampai penyeliban dan seterusnya.
Budaya
patriakat ini secara umum juga masih berlaku dan terus berjalan sampai pada
masa kini, terkhususnya di dalam masyrakat Asia. Contohnya, dalam sebuah rumah
tangga sebagai komunitas terkecil dari masyrakat, bapak rumah tangga itu
berperang sebagai pemimpin meskipun dibalik itu sebenarnya perempuan yang juga
berperan penting dalam upaya mendukung si suami. Kemudian didalam pemerintahan,
masih sedikit perempuan yang dipercayaai untuk berperan, meskipun dalam bekerja
di instansi pemerintah perempuan sangat banyak memiliki prestasi. Selain itu
dalam konteks Indonesia secara khusus ketika anak-anak lahir dari perempuan
berbeda tetapi satu ayah, maka anak-anak itu dianggap saudara kandung. Sebalikannya
apabila anak-anak lahir dari perempuan yang sama tetapi lain ayah maka
anak-anak ini di anggap saudara tiri. Ini merupakan contoh bahwa budaya patriarkhal
itu masih sangat kuat di Asia.[1]
Menafsirkan Alkitab secara
baru menurut “Kacamata” Feminisme.
Kitab
Suci perlu ditafsirkan. Tanpa penafsiran, kita tidak mungkin percaya pada
kesaksian yang disampaikan, bukan berarti kita meragukan kesaksian Kitab Suci.
Melainkan karena tanpa penafsiran kita tidak mampu “mendengar” hal-hal yang
dikatakan orang dari zaman yang berbeda.. Dalam hal tersebut para feminis
kontemporer tidak melakukan sesuatu yang unik. Namun, pengalaman seperti itu
tidak bebas dari usaha penafsiran atas pengalaman dan hal-hal yang terjadi
dalam pengalaman. Penafsiran atas Kitab Suci dari dalam tradisi, yaitu tradisi
yang di dalamnya Kitab Suci dipandang Kudus. Sebenarnya itu adalah usaha
mempertemukan dari tradisi yang menjangkau banyak bidang dan situasi kehidupan
kita saat ini. Bagi orang Kristen penafsir telah dilakukan sejak awal, misal
pada saat Perjanjian Baru berusaha menafsirkan Perjanjian, pada saat Rasul
Paulus menafsirkan kisah Yesus dalam kaitannya dengan kehidupan Gereja-gereja awal.
Sebab mereka mengakui bahwa setiap zaman perlu mendengar kisah Kitab Suci yang
dalam kaitannya dengan kehidupan mereka masing-masing.
Pemahaman
sejati atau kesaksian Kitab Suci menghasilkan pemahaman feminis, pada
gilirannya menjadi prinsip penafsiran bagi bagian Kitab Suci lainnya. Keyakinan
mengenai kemanusiaan perempuan yang penuh, muncul dengan mempertemukan
pengalaman perempuan dan Kitab Suci. Kesadaran feminis bukan semata-mata karena
Kitab Suci. Melainkan didukung oleh fakta bahwa tidak semua feminis menyadari
realitas perempuan ( serta tentang kesederajatan dan mutualitas) hanya karena
membaca Kitab Suci. Sebagian kaum feminis menyadari dan menyaksikan realitas
tersebut karena dipengaruhi oleh kebudayaan, lingkungan kultural yang telah
diterima dengan pemahaman mereka. Bagi
sebagian orang pemahaman akan realitas perempuan mungkin dibentuk dan
diperjelas oleh pembacaan teks Kitab Suci dan bagi yang lain, Kitab Suci
bersifat meneguhkan. Ada pula yang mengatakan bahwa teks itu tidak bermakna
apa-apa, bahkan bertentangan dengan pemahaman mereka sendiri. Pemahaman
religius perempuan, pertanyaan fundamentalnya bukanlah apakah visinya yang asli
adalah hasil dari pengaruh Kitab Suci atau bukan, melainkan bagaimana Kitab
Suci didekati sehubungan dengan visinya.
Kitab Suci dapat membantu ketajaman kesadaran moral dengan menyoruti
kondisi manusia, potensi-potensi dalam diri manusia ataupun kendala-kendala
terhadap kebaikan moral. Kitab Suci dapat memotivasi tindakan moral dengan cara
menghadirkan janji dan panggilan ilahi, menghadirkan sejarah umat yang dibentuk
dengan iman, dan memberi harapan. Dapat memberi kuasa kepada seseorang secara
religius dan moral dengan cara memberi makna fundamental bagi kehidupan mereka,
memperluas wawasan mereka melampaui diri sendiri, menentang penipuan diri
sendiri dan memampukan menerima diri sendiri. Namun, Kitab Suci tidak
menyediakan peraturan moral yang sangat spesifik atau pedoman tindakan yang
sangat terperinci.
Apakah
yang dimaksud bila dikatakan bahwa kita mengakui kewibawaan Kitab Suci sebagai
sumber bagi iman, teologi dan etika feminis Kristen? Maksudnya bahwa beberapa
pemahaman penting tentang kehidupan, moralitas, bahkan harapan, tidak dapat
muncul baik dari Kitab Suci maupun dari sumber lain atau hanya dari sumber
lain. Dan tidak bermaksud bahwa Kitab Suci cukup bagi pengembangan teologi atau
etika feminis Kristen yang lengkap dan memadai. Secara positif mengatakan bahwa
feminis mengakui kewibawaan Kitab Suci sumber dalam memahami diri dan kehidupan
manusia ialah :
1. Kitab Suci
bukan hanya berisi pandangan yang patriarkal atau mendukung seksisme, isi Kitab
Suci “lebih dari” itu,
2. Hal-hal
yang “lebih dari” ini setidaknya sesuai dengan kebenaran realitas perempuan
sebagaimana dipahami di dalam kesadaran feminis. Hal ini dapat “menyentuh”
kebenaran realitas perempuan, menyingkapkan dan menjadikannya turut bergema
dengan kebenaran lain.
Hal ini
dapat membantu untuk menguji sejauh mana kebenaran itu setia pada realitas
perempuan. Selain itu para feminis cukup siap untuk mengakui adanya sifat
historis dari pengetahuan manusiawi dan sifat sosial dari penafsiran atas
pemahaman manusiawi. Kesadaran feminis dialami sebagai kemajuan luar biasa
melampaui kesadaran palsu yang digantikan atau implisit yang diubahnya menjadi
eksplisit. Pemahaman lama telah digeser dan tidak dapat dikembalikan ke tempat
semula. Pemahaman saat ini memang belum lengkap, masih perbagian. Demikian
halnya dengan rumusan-rumusan prinsip saat ini mungkin akan berubah, bahkan
makna prinsip-prinsip itu berbeda dari konteks ke konteks. Semua fakta itu
tidak mengubah kebutuhan bahwa pengertian-pengertian baru harus diuji kebenarannya
(ketepatan dan kecukupannya) berhadapan dengan realitas kehidupan perempuan
sebagaimana diungkapkan dalam pengalaman perempuan. Para feminis yakin bahwa
hal-hal yang dilibatkannya dalam penafsiran Kitab Suci bukanlah khayalan
kosong. Jika dalam batas negatif
kesaksian Kitab Suci secara keseluruhan dialami sebagai hal yang diakui, tugas
penafsiaran tetap berada dalam hubungan dengan semua bagian sebagai satu
kesatuan. Artinya, sejauh Kitab Suci dinilai oleh para feminis sebagai sumber
bagi iman, teologi etika dan aspek tertentu dari cerita-cerita Kitab Suci.
Kemudian berdasarkan keyakianan feminis, beberapa penafsiran disingkirkan (
sama seperti penerimaan Kitab Suci menyingkirkan penafsiran yang bertentangan
dengannya).[2]
Kristologi Menurut kaum
Feminis
Teologi feminis
adalah teologi yang didasarkan pada keyakinan bahwa kamu perempuan sama seperti
kaum laki-laki, yang sama-sama mempunyai martabat penuh sebagai manusia.
teologi feminis pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu
teologi feminis revolusioner dan teologi feminis revormis. Aliran revolusioner
diciptakan oleh perempuan-perempuan yang berpendapat bahwa tradisi kristiani
didominasi oleh kaum laki-laki. Yang dilakukan oleh perempuan-perempuan untuk
membersihkan agama dari unsur-unsur dominasi laki-laki, mereka membentuk
kelompok-kelompok yang berdoa dan beribadah secara bersama-sama. Sedangkan para
teolog feminis revormis, meskipun sependapat bahwa tradisi Kristiani telah
dominasi oleh kaum laki-laki, masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa
tradisi Kristiani dapat diubah, sebab tradisi ini juga mengandung unsur-unsur
pembebasan yang kuat.
Ciri-ciri dari
teologi pembebasan feminis muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu
kelompok khusus yang tertindas, yaitu kaum perempuan. Menyadari bahwa kaum
perempuan selalu dipandang dan diperlakukan warga kelas dua dalam masyarakat
dan gereja, dinilai bertentangan dengan martabat mereka yang penuh sebagai
manusia, dan akhirnya mereka bangkit dan berteriak. Visi yang membimbing
teologi feminis ialah visi suatu masyarakat manusia yang baru berdasarkan pada
nilai-nilai saling dan timbal balik. Dan dalam teologi ini yang menjadi pedoman
yaitu langit baru dan bumi baru; tidak ada kelompok yang mendominasi dan
didominasi, tetapi setiap orang dengan haknya sendiri-sendiri ikut
berpartisipasi menurut bakatnya, saling memberi dan saling menerima.
Situasi
terpenting yang dilakukan oleh para teolog feminis ialah bahwa seksisme
(mengolong-golongkan orang, menentukan peranan-peranan tertentu dan mengingkari
hak-hak tertentu atas dasar ciri-ciri fisik) itu sudah merasuk. Seksisme juga
memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai
manusia dari pada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk
membatasi kaum perempuan dalam tempat mereka sendiri. Ada dua cara seksisme
yaitu menampilakan diri dalam struktur-struktur yang dibentuk sedemikan rupa
sehingga kekuasaan selalu ada dalam tangan kaum laki-laki yang mendominasi yang
disebut patriarki. Dan cara yang kedua, seksisme menampilkan diri dalam
pola-pola berpikir yang mengangkat kemanusiaan laki-laki dan menjadikannya
sebagai norma untuk semua orang.[3]
Relevansi bagi upaya
berkristologi di Indonesia dalam konteks Kalimantan
Dalam
kehidupan masyarakat di Kalimantan kebudayaan patriarkhal masih berlaku, hanya
saja tidak sekental pada masa-masa sebelumnya. Kaum patriarkhal dan kaum
feminis secara khusus di Kalimantan sudah mulai seimbang, contohnya dalam
bekerja di instansi pemerintah di Kalimantan sudah banyak perempuan yang
berkedudukan. Secara sempit juga didalam struktur organisasi Gereja terkhusus
Gereja Kalimantan Evangelis pada masa kini ada banyak perempuan yang dicetus
sebagai pemimpin atau pendeta.
Berbicara
mengenai teologi feminis yang menyangkut relevansinya dengan kontek kalimantan,
sejak tahun 1930 perempuan sudah sangat diperhatikan dan penyetaraan dengan
kaum laki-laki sudah dimulai. Perempuan-perempuan dipakai sebagai penatua,
karena dibeberapa jemaat perempuan menjadi pengunjung gereja yang setia,
sementara laki-laki hanya sedikit. Ada sebuah kelompok “pumpong oloh bawi” (kumpulan
perempuan). Kelompok ini merupakan sebuah usaha greja didalam memperjuangkan
pembinaan terhadap kaum perempuan Kalimantan secara khusus perempuan GKE. Dalam
kegiatan itu ada banyak hal yang mereka lakukan, misalnya belajar memasak,
pekerjaan tangan, dan belajar membaca Alkitab. Hasilnya kelak akan diserahkan
dan digunakan untuk gereja dan untuk pekabaran injil. Hal tersebut merupakan
sebah contoh bahwa kaum feminis sangat berperan penting dalam perkembbangan
pekabaan injil di Kalimantan.[4]
Berangkat
dari pemaparan diatas, kelompok dalam rangka berkristologi guna memehami siapa
Yesus yang digambarkan melalui kaum feminis di Kalimantan, berpendapat bahwa
Yesus itu sebagai nabi melalui kaum perempuan. Dimana pada hakekatnya nabi
berarti penyambung lidah Allah, mengabarkan kasih karunia Allah kepada umat
manusia. Demikian halnya dengan perempuan-perempuan dikalimantan yang secara
umum mendominasi pelayanan dikalimantan. Perempuan salah satu alat penting dan
menjadi kekuatan GKE didalam upaya pekabaran injil. Melalui para pendeta,
pejabat-pejabat gerejawi, bahkan ibu-ibu rumah tangga juga menjadi alat penting didalam menyerukan kenabian Yesus
dikalimantan.
[1]Elizabeth
Scussler Fiorenza, Untuk mengenang
Perempuan Itu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997) hal 368-372
[2]Letty
M. Russell, Perempuan dan Tafsir Kitab
Suci, (Yogyakarta: KANISIUS, 2004) hal 35-48
[3]Elizabeth
A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum
Feminis, (Yogyakarta : KANISIUS, 2007), hal 120-136
ijin copy yah kak thanks
BalasHapusElever Agency