Jumat, 05 April 2013

Gambaran dan Evaluasi Mengenai Rumusan Kristologi Dalam Pemahaman dan Penghayatan Kaum Perempuan di Indonesia (Kalimantan)


Konteks patrialkhat dalam Alkitab dan masyarakat Asia pada umumnya
Patriarkhal adalah garis keturunan Ayah atau laki-laki. Budaya ini berasal dari kebudayaan bangsa Israel. Dalam Alkitab secara umum membicarakan masalah budaya patriakat. Berangkat dari perjanjian lama, nabi-nabi, hakim, raja dan imam itu kebanyakan laki-lak. Memang ada perempuan berperan namun transparan dan jarang dimunculkan, seperti Hawa, Miryam, Sara, Ribka, Zhipora, Debora, Betsyeba. Selain itu dalam perjanjian baru, juga demikian halnya. Mulai dari peran mesias yang harus laki-laki, padahal secara logika mengapa tidak perempuan yang menjadi mesias? Hal ini juga merupakan pengaruh dari budaya patriakat yang menjunjung tinggi kaum laki-laki. Kembali dalam perjanjian baru, banyak perempuan yang bertindak ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah, namun tidak begitu di tonjolkan. Seperti Maria, Febe (pelayan jemaat Kengkrea), dan perempuan-perempuan yang setia mendampingi Yesus sampai penyeliban dan seterusnya.
Budaya patriakat ini secara umum juga masih berlaku dan terus berjalan sampai pada masa kini, terkhususnya di dalam masyrakat Asia. Contohnya, dalam sebuah rumah tangga sebagai komunitas terkecil dari masyrakat, bapak rumah tangga itu berperang sebagai pemimpin meskipun dibalik itu sebenarnya perempuan yang juga berperan penting dalam upaya mendukung si suami. Kemudian didalam pemerintahan, masih sedikit perempuan yang dipercayaai untuk berperan, meskipun dalam bekerja di instansi pemerintah perempuan sangat banyak memiliki prestasi. Selain itu dalam konteks Indonesia secara khusus ketika anak-anak lahir dari perempuan berbeda tetapi satu ayah, maka anak-anak itu dianggap saudara kandung. Sebalikannya apabila anak-anak lahir dari perempuan yang sama tetapi lain ayah maka anak-anak ini di anggap saudara tiri. Ini merupakan contoh bahwa budaya patriarkhal itu masih sangat kuat di Asia.[1]
Menafsirkan Alkitab secara baru menurut “Kacamata” Feminisme.
Kitab Suci perlu ditafsirkan. Tanpa penafsiran, kita tidak mungkin percaya pada kesaksian yang disampaikan, bukan berarti kita meragukan kesaksian Kitab Suci. Melainkan karena tanpa penafsiran kita tidak mampu “mendengar” hal-hal yang dikatakan orang dari zaman yang berbeda.. Dalam hal tersebut para feminis kontemporer tidak melakukan sesuatu yang unik. Namun, pengalaman seperti itu tidak bebas dari usaha penafsiran atas pengalaman dan hal-hal yang terjadi dalam pengalaman. Penafsiran atas Kitab Suci dari dalam tradisi, yaitu tradisi yang di dalamnya Kitab Suci dipandang Kudus. Sebenarnya itu adalah usaha mempertemukan dari tradisi yang menjangkau banyak bidang dan situasi kehidupan kita saat ini. Bagi orang Kristen penafsir telah dilakukan sejak awal, misal pada saat Perjanjian Baru berusaha menafsirkan Perjanjian, pada saat Rasul Paulus menafsirkan kisah Yesus dalam kaitannya dengan kehidupan Gereja-gereja awal. Sebab mereka mengakui bahwa setiap zaman perlu mendengar kisah Kitab Suci yang dalam kaitannya dengan kehidupan mereka masing-masing.
Pemahaman sejati atau kesaksian Kitab Suci menghasilkan pemahaman feminis, pada gilirannya menjadi prinsip penafsiran bagi bagian Kitab Suci lainnya. Keyakinan mengenai kemanusiaan perempuan yang penuh, muncul dengan mempertemukan pengalaman perempuan dan Kitab Suci. Kesadaran feminis bukan semata-mata karena Kitab Suci. Melainkan didukung oleh fakta bahwa tidak semua feminis menyadari realitas perempuan ( serta tentang kesederajatan dan mutualitas) hanya karena membaca Kitab Suci. Sebagian kaum feminis menyadari dan menyaksikan realitas tersebut karena dipengaruhi oleh kebudayaan, lingkungan kultural yang telah diterima dengan pemahaman mereka.  Bagi sebagian orang pemahaman akan realitas perempuan mungkin dibentuk dan diperjelas oleh pembacaan teks Kitab Suci dan bagi yang lain, Kitab Suci bersifat meneguhkan. Ada pula yang mengatakan bahwa teks itu tidak bermakna apa-apa, bahkan bertentangan dengan pemahaman mereka sendiri. Pemahaman religius perempuan, pertanyaan fundamentalnya bukanlah apakah visinya yang asli adalah hasil dari pengaruh Kitab Suci atau bukan, melainkan bagaimana Kitab Suci didekati sehubungan dengan visinya.  Kitab Suci dapat membantu ketajaman kesadaran moral dengan menyoruti kondisi manusia, potensi-potensi dalam diri manusia ataupun kendala-kendala terhadap kebaikan moral. Kitab Suci dapat memotivasi tindakan moral dengan cara menghadirkan janji dan panggilan ilahi, menghadirkan sejarah umat yang dibentuk dengan iman, dan memberi harapan. Dapat memberi kuasa kepada seseorang secara religius dan moral dengan cara memberi makna fundamental bagi kehidupan mereka, memperluas wawasan mereka melampaui diri sendiri, menentang penipuan diri sendiri dan memampukan menerima diri sendiri. Namun, Kitab Suci tidak menyediakan peraturan moral yang sangat spesifik atau pedoman tindakan yang sangat terperinci.
Apakah yang dimaksud bila dikatakan bahwa kita mengakui kewibawaan Kitab Suci sebagai sumber bagi iman, teologi dan etika feminis Kristen? Maksudnya bahwa beberapa pemahaman penting tentang kehidupan, moralitas, bahkan harapan, tidak dapat muncul baik dari Kitab Suci maupun dari sumber lain atau hanya dari sumber lain. Dan tidak bermaksud bahwa Kitab Suci cukup bagi pengembangan teologi atau etika feminis Kristen yang lengkap dan memadai. Secara positif mengatakan bahwa feminis mengakui kewibawaan Kitab Suci sumber dalam memahami diri dan kehidupan manusia ialah :
1.    Kitab Suci bukan hanya berisi pandangan yang patriarkal atau mendukung seksisme, isi Kitab Suci “lebih dari” itu,
2.    Hal-hal yang “lebih dari” ini setidaknya sesuai dengan kebenaran realitas perempuan sebagaimana dipahami di dalam kesadaran feminis. Hal ini dapat “menyentuh” kebenaran realitas perempuan, menyingkapkan dan menjadikannya turut bergema dengan kebenaran lain.
Hal ini dapat membantu untuk menguji sejauh mana kebenaran itu setia pada realitas perempuan. Selain itu para feminis cukup siap untuk mengakui adanya sifat historis dari pengetahuan manusiawi dan sifat sosial dari penafsiran atas pemahaman manusiawi. Kesadaran feminis dialami sebagai kemajuan luar biasa melampaui kesadaran palsu yang digantikan atau implisit yang diubahnya menjadi eksplisit. Pemahaman lama telah digeser dan tidak dapat dikembalikan ke tempat semula. Pemahaman saat ini memang belum lengkap, masih perbagian. Demikian halnya dengan rumusan-rumusan prinsip saat ini mungkin akan berubah, bahkan makna prinsip-prinsip itu berbeda dari konteks ke konteks. Semua fakta itu tidak mengubah kebutuhan bahwa pengertian-pengertian baru harus diuji kebenarannya (ketepatan dan kecukupannya) berhadapan dengan realitas kehidupan perempuan sebagaimana diungkapkan dalam pengalaman perempuan. Para feminis yakin bahwa hal-hal yang dilibatkannya dalam penafsiran Kitab Suci bukanlah khayalan kosong.   Jika dalam batas negatif kesaksian Kitab Suci secara keseluruhan dialami sebagai hal yang diakui, tugas penafsiaran tetap berada dalam hubungan dengan semua bagian sebagai satu kesatuan. Artinya, sejauh Kitab Suci dinilai oleh para feminis sebagai sumber bagi iman, teologi etika dan aspek tertentu dari cerita-cerita Kitab Suci. Kemudian berdasarkan keyakianan feminis, beberapa penafsiran disingkirkan ( sama seperti penerimaan Kitab Suci menyingkirkan penafsiran yang bertentangan dengannya).[2]
Kristologi Menurut kaum Feminis
Teologi feminis adalah teologi yang didasarkan pada keyakinan bahwa kamu perempuan sama seperti kaum laki-laki, yang sama-sama mempunyai martabat penuh sebagai manusia. teologi feminis pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu teologi feminis revolusioner dan teologi feminis revormis. Aliran revolusioner diciptakan oleh perempuan-perempuan yang berpendapat bahwa tradisi kristiani didominasi oleh kaum laki-laki. Yang dilakukan oleh perempuan-perempuan untuk membersihkan agama dari unsur-unsur dominasi laki-laki, mereka membentuk kelompok-kelompok yang berdoa dan beribadah secara bersama-sama. Sedangkan para teolog feminis revormis, meskipun sependapat bahwa tradisi Kristiani telah dominasi oleh kaum laki-laki, masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa tradisi Kristiani dapat diubah, sebab tradisi ini juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat.
Ciri-ciri dari teologi pembebasan feminis muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas, yaitu kaum perempuan. Menyadari bahwa kaum perempuan selalu dipandang dan diperlakukan warga kelas dua dalam masyarakat dan gereja, dinilai bertentangan dengan martabat mereka yang penuh sebagai manusia, dan akhirnya mereka bangkit dan berteriak. Visi yang membimbing teologi feminis ialah visi suatu masyarakat manusia yang baru berdasarkan pada nilai-nilai saling dan timbal balik. Dan dalam teologi ini yang menjadi pedoman yaitu langit baru dan bumi baru; tidak ada kelompok yang mendominasi dan didominasi, tetapi setiap orang dengan haknya sendiri-sendiri ikut berpartisipasi menurut bakatnya, saling memberi dan saling menerima.
Situasi terpenting yang dilakukan oleh para teolog feminis ialah bahwa seksisme (mengolong-golongkan orang, menentukan peranan-peranan tertentu dan mengingkari hak-hak tertentu atas dasar ciri-ciri fisik) itu sudah merasuk. Seksisme juga memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia dari pada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam tempat mereka sendiri. Ada dua cara seksisme yaitu menampilakan diri dalam struktur-struktur yang dibentuk sedemikan rupa sehingga kekuasaan selalu ada dalam tangan kaum laki-laki yang mendominasi yang disebut patriarki. Dan cara yang kedua, seksisme menampilkan diri dalam pola-pola berpikir yang mengangkat kemanusiaan laki-laki dan menjadikannya sebagai norma untuk semua orang.[3]
Relevansi bagi upaya berkristologi di Indonesia dalam konteks Kalimantan
Dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan kebudayaan patriarkhal masih berlaku, hanya saja tidak sekental pada masa-masa sebelumnya. Kaum patriarkhal dan kaum feminis secara khusus di Kalimantan sudah mulai seimbang, contohnya dalam bekerja di instansi pemerintah di Kalimantan sudah banyak perempuan yang berkedudukan. Secara sempit juga didalam struktur organisasi Gereja terkhusus Gereja Kalimantan Evangelis pada masa kini ada banyak perempuan yang dicetus sebagai pemimpin atau pendeta.
Berbicara mengenai teologi feminis yang menyangkut relevansinya dengan kontek kalimantan, sejak tahun 1930 perempuan sudah sangat diperhatikan dan penyetaraan dengan kaum laki-laki sudah dimulai. Perempuan-perempuan dipakai sebagai penatua, karena dibeberapa jemaat perempuan menjadi pengunjung gereja yang setia, sementara laki-laki hanya sedikit. Ada sebuah kelompok “pumpong oloh bawi” (kumpulan perempuan). Kelompok ini merupakan sebuah usaha greja didalam memperjuangkan pembinaan terhadap kaum perempuan Kalimantan secara khusus perempuan GKE. Dalam kegiatan itu ada banyak hal yang mereka lakukan, misalnya belajar memasak, pekerjaan tangan, dan belajar membaca Alkitab. Hasilnya kelak akan diserahkan dan digunakan untuk gereja dan untuk pekabaran injil. Hal tersebut merupakan sebah contoh bahwa kaum feminis sangat berperan penting dalam perkembbangan pekabaan injil di Kalimantan.[4]
Berangkat dari pemaparan diatas, kelompok dalam rangka berkristologi guna memehami siapa Yesus yang digambarkan melalui kaum feminis di Kalimantan, berpendapat bahwa Yesus itu sebagai nabi melalui kaum perempuan. Dimana pada hakekatnya nabi berarti penyambung lidah Allah, mengabarkan kasih karunia Allah kepada umat manusia. Demikian halnya dengan perempuan-perempuan dikalimantan yang secara umum mendominasi pelayanan dikalimantan. Perempuan salah satu alat penting dan menjadi kekuatan GKE didalam upaya pekabaran injil. Melalui para pendeta, pejabat-pejabat gerejawi, bahkan ibu-ibu rumah tangga juga menjadi alat   penting didalam menyerukan kenabian Yesus dikalimantan.


[1]Elizabeth Scussler Fiorenza, Untuk mengenang Perempuan Itu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997) hal  368-372
[2]Letty M. Russell, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Yogyakarta: KANISIUS, 2004) hal 35-48  
[3]Elizabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis, (Yogyakarta : KANISIUS, 2007), hal 120-136
4Dr. Fridolin Ukur. “Tuaiannya Sungguh Banyak”, Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002). Hal 118-119.

1 komentar: