Jumat, 05 April 2013

Yohanes Calvin


A.    Yohanes Calvin (1509-1564)
Yohanes Calvin adalah seorang pemimpin gerakan reformasi gereja di Swiss. Ia merupakan generasi kedua dalam jajaran pelopor dan pemimpin gerakan reformasi gereja pada abad ke-16, namun peranannya sangat besar dalam gereja-gereja reformatoris. Gereja-gereja yang mengikuti ajaran dan tata gereja yang digariskan Calvin tersebar diseluruh dunia. Gereja-gereja itu diberi nama Gereja Calvinis. Di Indonesia gereja-gereja yang bercorak Calvinis merupakan golongan gereja yang terbesar.
Yohanes Calvin dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1509 di Noyon, sebuah desa disebelah utara kota Paris, Perancis. Ayahnya bernama Gerard Cauvin, Ibunya bernama Jeanne Lefranc. Ibunya adalah seorang wanita yang cantik dan saleh. Keluarga Calvin mempunyai hubungan yang erat dengan keluarga bangsawan Noyon. Oleh karena itu, pendidikan elementernya ditempuh dalam Istana bangsawan Noyon. Maka dari itu, Calvin memperlihatkan sifat-sifat kebangsawanan. Pada mulanya Ayah Calvin menginginkan anaknya untuk menjadi seorang imam.  Pada umur 12 tahun Calvin sudah menerima ‘’ Taonsor”. Pada tahun 1523 Calvin memasuki pendidikannya pada jenjang yang tinggi. Setelah Calvin menyelesaikan pendidikannya, tiba-tiba ayahnya tidak menginginkan ia menjadi seorang iman melainkan menjadi seorang ahli hukum.  Dengan demikian Calvin menjadi seorang ahli hukum, di mana studi hukum yang di pelajarinya sangat mempengaruhi dalam usaha pembaharuan dan penataan Gereja Reformasi yang di pimpinnya. Di mana dalam hal ini calvin sangat menekankan ketertiban dan keteraturan dalam Gereja.
Ketika Calvin masih muda Calvin menerbitkan beberapa revisi dari Institutio, sebuah karya yang menjadi dasar dalam teologi Kristen yang masih dibaca orang-orang hingga sampai saat ini, tulisan ini dibuatnya dalam bahasa Latin pada 1536 (pada usia 26 tahun) dan kemudian dalam bahasa ibunya, bahasa Perancis, pada 1541, dan edisi finalnya masing-masing muncul pada tahun 1559 dan 1560.
Ia juga banyak menulis tafsiran tentang kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk Perjanjian Lama, ia menerbitkan tafsiran tentang semua kitab kecuali kitab-kitab sejarah setelah Kitab Yosua (meskipun ia menerbitkan khotbah-khotbahnya berdasarkan Kitab 1 Samuel dan sastra Hikmat kecuali Mazmur. Untuk Perjanjian Baru, ia melewatkan Surat 2 Yohanes dan Surat 3 Yohanes serta Kitab Wahyu. (Sebagian orang mengatakan bahwa Calvin mempertanyakan kanonisitas Kitab Wahyu, tetapi ia mengutipnya dalam tulisan-tulisannya yang lain dan mengakui otoritasnya, sehingga teori itu diragukan). Tafsiran-tafsiran ini pun ternyata tetap berharga bagi para peneliti Alkitab, dan setelah lebih dari 400 tahun masih terus diterbitkan.[1]
B.     Reformasi Yohanes Calvin
Yohanes Calvin adalah salah satu Reformator yang sangat berpengaruh dalam berbagai bidang, diantaranya ialah gereja, politik,social. Pandangan Calvin tentang keselamatan hampir sama dengan pandangan Luther, dimana keselamatan merupakan Anugerah dari Allah. Namun Calvin lebih lanjut  menegaskan bahwa orang berdosa yang sudah di benarkan karena anugerah Allah itu harus memelihara hidupnya sebagai orang yang sudah dipilih dan di kuduskan oleh Allah, oleh karena itu perlu adanya kedisiplinan. Karena dengan kedisplinan orang yang sudah di selamatkan akan menunjukan sikap sebagai orang yang sudah menerima anugerah tersebut. Kata Anugerah pada dasarnya berarti kemurahan ilahi yang tidak seharusnya di terima  dan bukan semacam balas jasa yang di berikan pada manusia. Karena menurut Calvin orang yang sudah menerima Anugerah hidup kekal, pasti akan menunjukan sikap dan tindakan yang baik. Teologi Calvin hampir sama juga dengan teologi dari Agustinus, dimana antara keduanya sama-sama menekankan kesucian dan kekudusan.
v  Reformasi dalam tata gereja
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah di selamatkan berkat kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus, yang telah di benarkan kendati tetap merupakan manusia berdosa, yang ke semuanya di sambut dan di terima melalui Iman. Sehubungan dengan itu Calvin lebih lanjut menegaskan bahwa Allah memanggil dan menyediakan orang-orang yang di tugaskan memberitakan Firman dan melayankan sakramen serta gembala-gembala yang menuntut dan membina warga jemaat. Dalam hal ini Calvin lebih menekankan perlunya pejabat atau jabatan Gerejawi. Menurut Calvin, di dalam gereja ada empat jabatan: Gembala atau Pendeta, Pengajar, Penetua, dan Syamas atau Diaken.[2]
v  Disiplin Gereja
Dalam hal ini Calvin sependapat dengan Luther yang menekankan bahwa kedisplinan dalam gereja harus di tekankan. Karena disiplin berkaitan erat dengan kekudusan dn kesucian. Dimana dengan kedisplinan bertujuan mempertahankan kesucian gereja sebagai persekutuan yang merayakan perjamuan kudus. Supaya nama Allah tetap dipermuliakan dan tidak dicemarkan. Jadi displin gereja harus dipahami sebagai  upaya memelihara pengudusan didalam gereja sebagai alat untuk mendorong warga jemaat agar hidup dengan mengandalkan pembenaran. Seraya membantu mereka yang terancam menyimpang atau tersesat untuk kembali kejalan yang benar.
Ibadah dan sakramen
Bagi Calvin ibadah dan tata ibadah bukan hanya merupakan soal praktis dan incidental, yang bisa di susun dan di selenggarakan menurut selera dan suasana sesaat. Baginya ibadah dan tata ibadah berkaitan erat, bahkan merupakan satu kesatuan, dengan pokok-pokok ajaran mendasar yang kita lihat di atas, sebab gereja mengungkapkan imannya melalui ibadah. Ibadah di dalam gereja-gereja calvinis sama seperti gereja Lutheran yang berpusat pada pemberitaan firman atau khotbah dan perayaan Perjamuan Kudus. Ciri-ciri ibadah gereja calvinis adalah; firman Tuhan, ruangan dan suasana ibadah harus dibersihkan dari segala sesuatu yang merusak kehidupan gereja. Benda-benda dan perkara-perkara yang di dalam gereja yang di anggap suci tentang hal ini Calvin lebih tegas dan  keras menolak hal ini. Dalam hal sakramen mengenai perjemuan kudus, calvin mengajarkan bahwa perjemuan kudus adalah pemberian Allah dan bukan perbuatan manusia. Roti dan anggur bukan saja lambang, melainkan alat yang dipakai untuk memberikan tubuh dan darah Kristus kepada umat-Nya.  Roti dan anggur tidak bisa dianggap sama saja dengan tubuh dan darah yang di dalam sorga itu, melainkan harus dianggap sebagai tanda dan meterai dari anugerah dan kasih Tuhan dalam Yesus Kristus. Dalam pelaksanaan perjamun kudus, Calvin sangat teliti. Dalam hal baptisan, menurut Calvin babtisan merupakan tanda pengampunan dan hidup baru. Babtisan menandakan bahwa hidup kita telah ikut serta dalam kematian dan kebangkitan kristus dan bahwa kita juga telah menjadi satu dengan dia.
C.    Politik Yohanes Calvin
Salah satu bentuk pemikiran konsepsi politik calvin secara teoritis sangat mirip sekali dengan Augustinus. Pemahaman mengenai perlunya pemerintahan yang disebabkan kejatuhan manusia memiliki kesamaan dengan istilah dosa yang menjadi alasan dalam pandangan Agustinus. Perbedaan yang mencolok menyangkut kerajaan “spiritual” yang berada di dalam jiwa dengan pemerintahan sipil yang mengatur perilaku lahiriah, sangat Nampak sekali dalam diri Calvin.
Pada dasarnya beberapa kalangan mencoba memberi kesimpulan mengenai pemikiran politik Calvin, De Jonge misalnya memberikan 3 bentuk, yakni : Teokrasi, Bibliokrasi dan Kristokasi. Hal yang sama juga diuraikan oleh John McNeil dengan beberapa perbedaan dengan Jonge khususnya mengenai dasar-dasar Alkitabnya.
I.                   Pandangan Alkitab terhadap politik
Ada beberapa teks alkitab, khususnya dalam perjanjian Baru yang mendasari pandangan Kristen tentang hubungan gereja dengan negara. Teks pertama adalah kutipan jawaban Tuhan Yesus ketika orang farisi dan herodian menjebak dia dengan pertanyaan : bolehkah membayar pajak kepada kaisar ? Yesus menjawab : “berikanlah kepda kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (matis 22: 21-21b). berdasarkan jawaban Yesus, gereja memahami dirinya sebagai warga Negara rangkap yaitu sebagai warga Negara secara politis dan warga kerajaan/ pemerintahan Allah. Alasan pokoknya adalah oleh karena Negara, khususnya pemerintah dipahami sebagai pemberian dari Tuhan untuk kebaikan manusia
      Hal ini terkait dengan teks kedua yaitu roma 13:1-7 dan 1 petrus 2 :11-17 yang berbicara tentang status pemerintahan sebuah Negara sebagai pemberian Allah sendir. Dalam Roma 13:1-2 terrtulis: “ tiap-tiap orang harus takut kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, di tetapkan oleh Allah. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalas murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.   Ketaatan kepada kaisar, raja, atau pemerintah bukanlah kataatan kepada manusia melainkan wujud dari ketaatan kepada Allah yang diyakini menciptakan negara, termasuk pemerintah yang berkuasa di negara tersebut. Ketaatan kepada Tuhan adalah ke taatan bersifat mutlak, sedangkan ketaatan kepada negara adalah ketaatan bersyarat.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, gereja dan negara memiliki kesamaan di antaranya adalah; di mana keduanya adalah entitas yang di ciptakan oleh Tuhan dan menerima tugas dan panggilan mereka dari Tuhan. Di mana keduanya bertugas dan berfungsi di tengah-tengah perrgaulan hidup manusia. Tetapi ada juga perbedaan, umpamanya bahwa gereja melayani tugas-tugas rohani, sedangkan negara melayani tugas-tugas di duniawi. Dalam menjalankan tugas dan fungsi yang berbeda namun dalam medan yang sama hubungan gereja dan negara menjadi sangat penting.[3]
 
D.    Tinjauan etis politik Yohanes Calvin
Dalam melakukan reformasi, Calvin lebih menekankan kepada hal ke disiplinan. Hal itu dilakukan karena memiliki motivasi dan tujuan dalam melakukan pembaharuan di dalam hubungan Gereja dan Negara. Hubungan Gereja dan Negara dalam teologia Calvin sangat erat. Calvin bercita-cita suatu negara theokrasi. Seluruh kehidupan masyarakat harus di atur sesuai dengan kehendak Allah. Pemerintah bertugas juga untuk mendukung Gereja dan menghilangkan segala sesuatu yang berlawanan dengan berita injil yang murni karena Gereja dan Negara hidup saling berdampingan di mana keduanya sama-sama bertugas untuk melaksanakan kehendak Allah dan kehormatan Allah.   Namun bukan hanya itu saja pemahaman akan pentingnya sebuah pemerintahan agar mengatur hingga manusia tidak jatuh kedalam dosa. Dalam hal ini calvin juga melihat bahwa tugas dan tanggung jawab antara gereja dan negara sama-sama penting dalam rangka mewujutkan jemaat yang disiplin. Sikap Calvin yang sangat positif terhadap pemerintahan memiliki maksud dan tujuannya sendiri. Di samping terselenggaranya dan tercapainya tujuan atau kepentingan umum, Calvin juga sangat mengharapkan agar pemerintah juga menjadi pelindung gereja, termasuk dalam melindungi dokrin-dokrin gereja. Walaupun demikian Calvin tidak kehilangan kesadaran dan daya kritis terhadap pemerintah jika ia melihat para penguasa atau pemerintah yang melawan Allah dan memiliki perilaku yang tidak patut terhadap manusia. Dari berbagai hal yang Calvin lakukan dalam reformasi tentu ada sisi negatifnya, walupun secara keseluruhan yang ia lakukan mempunyai pengaruh yang besar di bidang gereja,  dan politik.
E.     Refleksi Teologis
Pada dasarnya Gereja mempunyai kedisiplinan yang ketat dan itu yang ditekankan oleh Calvin. Jika ada gereja yang tidak menekankan kedisiplinan maka mereka akan mendapat hukuman dari Calvin, contohnya yang terjadi saat itu jika ada orang yang tidak bisa menyanyi, beribadah yang baik dan tidak mematuhi aturan yang sudah ditentukan maka mereka akan mendapatkan hukuman mati atau secara halus dikeluarkan dari Gereja. Tetapi sangat bertolak belakang dengan realitas masa kini Gereja jarang sekali menekankan kedisiplinan ketika beribadah , memang pada dasarnya gereja sudah menetapkan berbagai kedisiplinan tetapi masih banyak orang-orang yang menyepelekan kedisiplinan itu dan melanggarnya. Contohnya untuk sekarang ini kita sering melihat ketika ibadah masih saja ada yang ribut dan bermain HP, padahal kalau kita memahami jika dalam ibadah masih saja ribut bagaimana kita bisa mendapatkan pengajaran yang baik jika untuk ibadah saja tidak bisa disiplin bagaimana dalam kehidupan sehari-hari untuk bisa berbuat baik dan mendisiplinkan diri.
Itulah sebabnya calvin menekankan ke disiplinan dalam gereja agar setiap orang bisa belajar dari hal yang kecil untuk melatih dirinya seperti yang terdapat dalam  Lukus 16: 10
Jika dalam hal kecil dan sudah bisa melakukannya dengan yang baik sesuai peraturan yang ditentukan maka otomatis buah dari kediplinan itu akan sangat baik bagi kehidupan pribadi terlebih untuk semua banyak orang. 


[1] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam sejarah (Jakarta:BPK Gunung Mulia 1987) Hal 64-65

[2] Pdt. Dr Jan Sihar Aritonang”Garis Besar Sejarah Reformasi” Jurnal infomedia Bandung. Hal 103-107
[3] Robert P. Borrong”Etika Politik Kristen. (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi 2006) Hal 14-15

Gambaran dan Evaluasi Mengenai Rumusan Kristologi Dalam Pemahaman dan Penghayatan Kaum Perempuan di Indonesia (Kalimantan)


Konteks patrialkhat dalam Alkitab dan masyarakat Asia pada umumnya
Patriarkhal adalah garis keturunan Ayah atau laki-laki. Budaya ini berasal dari kebudayaan bangsa Israel. Dalam Alkitab secara umum membicarakan masalah budaya patriakat. Berangkat dari perjanjian lama, nabi-nabi, hakim, raja dan imam itu kebanyakan laki-lak. Memang ada perempuan berperan namun transparan dan jarang dimunculkan, seperti Hawa, Miryam, Sara, Ribka, Zhipora, Debora, Betsyeba. Selain itu dalam perjanjian baru, juga demikian halnya. Mulai dari peran mesias yang harus laki-laki, padahal secara logika mengapa tidak perempuan yang menjadi mesias? Hal ini juga merupakan pengaruh dari budaya patriakat yang menjunjung tinggi kaum laki-laki. Kembali dalam perjanjian baru, banyak perempuan yang bertindak ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah, namun tidak begitu di tonjolkan. Seperti Maria, Febe (pelayan jemaat Kengkrea), dan perempuan-perempuan yang setia mendampingi Yesus sampai penyeliban dan seterusnya.
Budaya patriakat ini secara umum juga masih berlaku dan terus berjalan sampai pada masa kini, terkhususnya di dalam masyrakat Asia. Contohnya, dalam sebuah rumah tangga sebagai komunitas terkecil dari masyrakat, bapak rumah tangga itu berperang sebagai pemimpin meskipun dibalik itu sebenarnya perempuan yang juga berperan penting dalam upaya mendukung si suami. Kemudian didalam pemerintahan, masih sedikit perempuan yang dipercayaai untuk berperan, meskipun dalam bekerja di instansi pemerintah perempuan sangat banyak memiliki prestasi. Selain itu dalam konteks Indonesia secara khusus ketika anak-anak lahir dari perempuan berbeda tetapi satu ayah, maka anak-anak itu dianggap saudara kandung. Sebalikannya apabila anak-anak lahir dari perempuan yang sama tetapi lain ayah maka anak-anak ini di anggap saudara tiri. Ini merupakan contoh bahwa budaya patriarkhal itu masih sangat kuat di Asia.[1]
Menafsirkan Alkitab secara baru menurut “Kacamata” Feminisme.
Kitab Suci perlu ditafsirkan. Tanpa penafsiran, kita tidak mungkin percaya pada kesaksian yang disampaikan, bukan berarti kita meragukan kesaksian Kitab Suci. Melainkan karena tanpa penafsiran kita tidak mampu “mendengar” hal-hal yang dikatakan orang dari zaman yang berbeda.. Dalam hal tersebut para feminis kontemporer tidak melakukan sesuatu yang unik. Namun, pengalaman seperti itu tidak bebas dari usaha penafsiran atas pengalaman dan hal-hal yang terjadi dalam pengalaman. Penafsiran atas Kitab Suci dari dalam tradisi, yaitu tradisi yang di dalamnya Kitab Suci dipandang Kudus. Sebenarnya itu adalah usaha mempertemukan dari tradisi yang menjangkau banyak bidang dan situasi kehidupan kita saat ini. Bagi orang Kristen penafsir telah dilakukan sejak awal, misal pada saat Perjanjian Baru berusaha menafsirkan Perjanjian, pada saat Rasul Paulus menafsirkan kisah Yesus dalam kaitannya dengan kehidupan Gereja-gereja awal. Sebab mereka mengakui bahwa setiap zaman perlu mendengar kisah Kitab Suci yang dalam kaitannya dengan kehidupan mereka masing-masing.
Pemahaman sejati atau kesaksian Kitab Suci menghasilkan pemahaman feminis, pada gilirannya menjadi prinsip penafsiran bagi bagian Kitab Suci lainnya. Keyakinan mengenai kemanusiaan perempuan yang penuh, muncul dengan mempertemukan pengalaman perempuan dan Kitab Suci. Kesadaran feminis bukan semata-mata karena Kitab Suci. Melainkan didukung oleh fakta bahwa tidak semua feminis menyadari realitas perempuan ( serta tentang kesederajatan dan mutualitas) hanya karena membaca Kitab Suci. Sebagian kaum feminis menyadari dan menyaksikan realitas tersebut karena dipengaruhi oleh kebudayaan, lingkungan kultural yang telah diterima dengan pemahaman mereka.  Bagi sebagian orang pemahaman akan realitas perempuan mungkin dibentuk dan diperjelas oleh pembacaan teks Kitab Suci dan bagi yang lain, Kitab Suci bersifat meneguhkan. Ada pula yang mengatakan bahwa teks itu tidak bermakna apa-apa, bahkan bertentangan dengan pemahaman mereka sendiri. Pemahaman religius perempuan, pertanyaan fundamentalnya bukanlah apakah visinya yang asli adalah hasil dari pengaruh Kitab Suci atau bukan, melainkan bagaimana Kitab Suci didekati sehubungan dengan visinya.  Kitab Suci dapat membantu ketajaman kesadaran moral dengan menyoruti kondisi manusia, potensi-potensi dalam diri manusia ataupun kendala-kendala terhadap kebaikan moral. Kitab Suci dapat memotivasi tindakan moral dengan cara menghadirkan janji dan panggilan ilahi, menghadirkan sejarah umat yang dibentuk dengan iman, dan memberi harapan. Dapat memberi kuasa kepada seseorang secara religius dan moral dengan cara memberi makna fundamental bagi kehidupan mereka, memperluas wawasan mereka melampaui diri sendiri, menentang penipuan diri sendiri dan memampukan menerima diri sendiri. Namun, Kitab Suci tidak menyediakan peraturan moral yang sangat spesifik atau pedoman tindakan yang sangat terperinci.
Apakah yang dimaksud bila dikatakan bahwa kita mengakui kewibawaan Kitab Suci sebagai sumber bagi iman, teologi dan etika feminis Kristen? Maksudnya bahwa beberapa pemahaman penting tentang kehidupan, moralitas, bahkan harapan, tidak dapat muncul baik dari Kitab Suci maupun dari sumber lain atau hanya dari sumber lain. Dan tidak bermaksud bahwa Kitab Suci cukup bagi pengembangan teologi atau etika feminis Kristen yang lengkap dan memadai. Secara positif mengatakan bahwa feminis mengakui kewibawaan Kitab Suci sumber dalam memahami diri dan kehidupan manusia ialah :
1.    Kitab Suci bukan hanya berisi pandangan yang patriarkal atau mendukung seksisme, isi Kitab Suci “lebih dari” itu,
2.    Hal-hal yang “lebih dari” ini setidaknya sesuai dengan kebenaran realitas perempuan sebagaimana dipahami di dalam kesadaran feminis. Hal ini dapat “menyentuh” kebenaran realitas perempuan, menyingkapkan dan menjadikannya turut bergema dengan kebenaran lain.
Hal ini dapat membantu untuk menguji sejauh mana kebenaran itu setia pada realitas perempuan. Selain itu para feminis cukup siap untuk mengakui adanya sifat historis dari pengetahuan manusiawi dan sifat sosial dari penafsiran atas pemahaman manusiawi. Kesadaran feminis dialami sebagai kemajuan luar biasa melampaui kesadaran palsu yang digantikan atau implisit yang diubahnya menjadi eksplisit. Pemahaman lama telah digeser dan tidak dapat dikembalikan ke tempat semula. Pemahaman saat ini memang belum lengkap, masih perbagian. Demikian halnya dengan rumusan-rumusan prinsip saat ini mungkin akan berubah, bahkan makna prinsip-prinsip itu berbeda dari konteks ke konteks. Semua fakta itu tidak mengubah kebutuhan bahwa pengertian-pengertian baru harus diuji kebenarannya (ketepatan dan kecukupannya) berhadapan dengan realitas kehidupan perempuan sebagaimana diungkapkan dalam pengalaman perempuan. Para feminis yakin bahwa hal-hal yang dilibatkannya dalam penafsiran Kitab Suci bukanlah khayalan kosong.   Jika dalam batas negatif kesaksian Kitab Suci secara keseluruhan dialami sebagai hal yang diakui, tugas penafsiaran tetap berada dalam hubungan dengan semua bagian sebagai satu kesatuan. Artinya, sejauh Kitab Suci dinilai oleh para feminis sebagai sumber bagi iman, teologi etika dan aspek tertentu dari cerita-cerita Kitab Suci. Kemudian berdasarkan keyakianan feminis, beberapa penafsiran disingkirkan ( sama seperti penerimaan Kitab Suci menyingkirkan penafsiran yang bertentangan dengannya).[2]
Kristologi Menurut kaum Feminis
Teologi feminis adalah teologi yang didasarkan pada keyakinan bahwa kamu perempuan sama seperti kaum laki-laki, yang sama-sama mempunyai martabat penuh sebagai manusia. teologi feminis pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu teologi feminis revolusioner dan teologi feminis revormis. Aliran revolusioner diciptakan oleh perempuan-perempuan yang berpendapat bahwa tradisi kristiani didominasi oleh kaum laki-laki. Yang dilakukan oleh perempuan-perempuan untuk membersihkan agama dari unsur-unsur dominasi laki-laki, mereka membentuk kelompok-kelompok yang berdoa dan beribadah secara bersama-sama. Sedangkan para teolog feminis revormis, meskipun sependapat bahwa tradisi Kristiani telah dominasi oleh kaum laki-laki, masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa tradisi Kristiani dapat diubah, sebab tradisi ini juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat.
Ciri-ciri dari teologi pembebasan feminis muncul dari pengakuan akan penderitaan suatu kelompok khusus yang tertindas, yaitu kaum perempuan. Menyadari bahwa kaum perempuan selalu dipandang dan diperlakukan warga kelas dua dalam masyarakat dan gereja, dinilai bertentangan dengan martabat mereka yang penuh sebagai manusia, dan akhirnya mereka bangkit dan berteriak. Visi yang membimbing teologi feminis ialah visi suatu masyarakat manusia yang baru berdasarkan pada nilai-nilai saling dan timbal balik. Dan dalam teologi ini yang menjadi pedoman yaitu langit baru dan bumi baru; tidak ada kelompok yang mendominasi dan didominasi, tetapi setiap orang dengan haknya sendiri-sendiri ikut berpartisipasi menurut bakatnya, saling memberi dan saling menerima.
Situasi terpenting yang dilakukan oleh para teolog feminis ialah bahwa seksisme (mengolong-golongkan orang, menentukan peranan-peranan tertentu dan mengingkari hak-hak tertentu atas dasar ciri-ciri fisik) itu sudah merasuk. Seksisme juga memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia dari pada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam tempat mereka sendiri. Ada dua cara seksisme yaitu menampilakan diri dalam struktur-struktur yang dibentuk sedemikan rupa sehingga kekuasaan selalu ada dalam tangan kaum laki-laki yang mendominasi yang disebut patriarki. Dan cara yang kedua, seksisme menampilkan diri dalam pola-pola berpikir yang mengangkat kemanusiaan laki-laki dan menjadikannya sebagai norma untuk semua orang.[3]
Relevansi bagi upaya berkristologi di Indonesia dalam konteks Kalimantan
Dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan kebudayaan patriarkhal masih berlaku, hanya saja tidak sekental pada masa-masa sebelumnya. Kaum patriarkhal dan kaum feminis secara khusus di Kalimantan sudah mulai seimbang, contohnya dalam bekerja di instansi pemerintah di Kalimantan sudah banyak perempuan yang berkedudukan. Secara sempit juga didalam struktur organisasi Gereja terkhusus Gereja Kalimantan Evangelis pada masa kini ada banyak perempuan yang dicetus sebagai pemimpin atau pendeta.
Berbicara mengenai teologi feminis yang menyangkut relevansinya dengan kontek kalimantan, sejak tahun 1930 perempuan sudah sangat diperhatikan dan penyetaraan dengan kaum laki-laki sudah dimulai. Perempuan-perempuan dipakai sebagai penatua, karena dibeberapa jemaat perempuan menjadi pengunjung gereja yang setia, sementara laki-laki hanya sedikit. Ada sebuah kelompok “pumpong oloh bawi” (kumpulan perempuan). Kelompok ini merupakan sebuah usaha greja didalam memperjuangkan pembinaan terhadap kaum perempuan Kalimantan secara khusus perempuan GKE. Dalam kegiatan itu ada banyak hal yang mereka lakukan, misalnya belajar memasak, pekerjaan tangan, dan belajar membaca Alkitab. Hasilnya kelak akan diserahkan dan digunakan untuk gereja dan untuk pekabaran injil. Hal tersebut merupakan sebah contoh bahwa kaum feminis sangat berperan penting dalam perkembbangan pekabaan injil di Kalimantan.[4]
Berangkat dari pemaparan diatas, kelompok dalam rangka berkristologi guna memehami siapa Yesus yang digambarkan melalui kaum feminis di Kalimantan, berpendapat bahwa Yesus itu sebagai nabi melalui kaum perempuan. Dimana pada hakekatnya nabi berarti penyambung lidah Allah, mengabarkan kasih karunia Allah kepada umat manusia. Demikian halnya dengan perempuan-perempuan dikalimantan yang secara umum mendominasi pelayanan dikalimantan. Perempuan salah satu alat penting dan menjadi kekuatan GKE didalam upaya pekabaran injil. Melalui para pendeta, pejabat-pejabat gerejawi, bahkan ibu-ibu rumah tangga juga menjadi alat   penting didalam menyerukan kenabian Yesus dikalimantan.


[1]Elizabeth Scussler Fiorenza, Untuk mengenang Perempuan Itu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997) hal  368-372
[2]Letty M. Russell, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Yogyakarta: KANISIUS, 2004) hal 35-48  
[3]Elizabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis, (Yogyakarta : KANISIUS, 2007), hal 120-136
4Dr. Fridolin Ukur. “Tuaiannya Sungguh Banyak”, Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002). Hal 118-119.