ASAL USUL SUKU DAYAK MA’ANYAN
Sorosilah ini berbahasa asli Dayak Ma’anyan ” Janyawai “
Bukan bahasa yang dipakai sehari – hari.
A. RIWAYAT ASAL USULNYA.
Allah
mula Allah, Allah mudi jari Allah. Allah mula Allah, Allah munta
murunsia, munta datu mula manta, maharaja mula ulun. Ka’ani dara mula
lapeh, suraibu hengkang ulun. Muneng tane tipak sulu, ngumung langit
rakun kubus, nyepuk hewuk kala mula, ngu’ut ranu petak watu, ranu gunung
madu rahu, watu papat lamura, gunung rueh ipatatai, watu purun
panahanar, uhuk dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun. Metak ranu madu
rahu, lawu tane tipak sulau, welum jari kayu saramelum, tumu malar
mangamuan matei, metak lagi ma handrueh, ruruh rimis mangapurun, jari
wusi parei gilai, janang wini gunung lungkung, metek lagi mangatalu,
jari ilau manyamare, awai supu mangujahan, metak lagi mangapat, jari
wundrung amirue, janang lunsing salulungan, metak lagi mangalima, jari
nanyu saniang, janang hiang piumung, metak kanamangapat, jari suling
wulian, janang riak rayu rungan, metak lagi kepitulempat, jari tumpuk
tunyung punu, guha mari dandrahulu.
Tumpuk
munta mudi matei, marunsia mantuk lumun, luwan patei datu mula munta,
lumun maharaja mula ulun, jari datu tunyungpanu, maharaja dandruhulu.
Heput kulu mudi hiang, surut sasar Janyawai, mulek datu mula munta,
maharaja mula ulun, hawi talak batung nyi’ai, jaku intai telang suluh.
Batung nyi’ai hawi teka rayu, telang suluh jaku talinguan. Ma’umele hi
datu mula munta, ma’umelan maharaja mula ulun, daya sumaden talak batung
nyi’ai, sumadi intai telang suluh, sumaden ma anak matu, sumadi bunsu
pasunringan. Palus gagiris ngini ma dara mula lapeh, igaginak nginte
suaraibuhengkang ulun, palus ipa’muma ume anri dara mula lapeh, ipa
turut junjung ma suraibu hengkangulun. Luwan hampe metak ranu puka tamu,
ruruh rimis luyu uwut jujuli, luwan metak ma tane pirarahan, ruruh
rimis ma gumi tampajakan, jari rikut sa irunrean, jari tanang kayu, jari
wurung sa ngawuwean wurung, janag eha ngawuean eha.
Luwan
sipumpun here kala adu nyawung, isansayuh alang nansaramai, gimutuk
here kala haruangan banung, gamudrah here munan gumi rarak ransai,
sipumpun munta anri wurung eha, isansayuh ulun ma waraga satua. Daya
huan uwung uweng kawan mantir ngurai hokum, ngahu anuh na’an maharaja
merang hadat. Daya huan unre balai pidudusan, ngahu irunrean jaru tapung
jangka. Pidudusan mantir ngurai hukum, tapung jangka patis merang
hadat, hukum hadat ma kananeo welum, atur turan ma kalalawah jari.
B. PERJEMAHAN BAHASA JANYAWAI BAHASA ASLI DAYAK MA’ANYAN KE BAHASA INDONESIA.
Adapun terjemahan bahasa asli Suku Dayak Ma’anyan diatas ke bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
”
Allah mula Allah itu adalah yang Maha Kuasa, Maha bisa, Maha tahu, Maha
sakti, Maha adil, Maha Pemurah, Maha Agung. Boleh jadi disamakan dengan
Allah Maha Esa, Allah Munta Murunsia adalah dia mencipta manusia yang
mana manusia pertama menurut ceritera budaya Dayak Ma’anyan ialah Datu
Mula Munta, Maharaja Mula Ulun, lalu manusia yang kedua kisah ini,
dibikin dari tulang rusuk manusia pertama tadi ( Datu Mula Munta ), maka
diberi nama Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun. Cuma menurut
kisahnya ini berlainan jenis kelamin, dan manusia kedua ini terdapat dua
buah gunung kecil di dadanya yang disebut dalam bahasa Janyawai yaitu
Gunung Madu Rahu Watu Papat Lamura. Yang mengeluarkan tetesan air dari
puncaknya. Dari dua buah puncak gunung tersebut menetes 7 (tujuh) tetes
air ke bumi tempat manusia berdua ini berada. Bumi disebut disini waktu
itu hanya sebesar telapak kaki mereka berdua ini berada , yakni Tane
Tipak Sulau. Dan waktu itu dalam kisah Janyawai ini kabut / gelap gulita
dan mereka bernapas dari letusan gumpalan angin pertama yang membentur
dua buah gunung kecil tadi, menimpun dari mata air dipuncak kedua gunung
itu. Adapun tetesan air yang ketujuh tadi menurut ceritera Janyawai
ini, tetesan pertama tumbuh menjadi pohon yang buah dan daunya biasa
dipergunakan untuk membangun ( menghidupkan orang yang mati ) disebut
kayu saramelum.
Tetesan
yang kedua tumbuh jadi padi, jadi rupanya padi yang ada sekarang
berasal dari tetesan kedua dari tetesan air dari puncak gunung tadi.
Tetesan ketiga menjadi minyak dan kapas untuk dipergunakan penyembuhan
kepada orang sakit. Tetesan yang ke empat hidup jadi Roh mereka berdua.
Tetesan yang kelima menjadi malaikat pelindung yang biasa membantu dan
melindungi manusia dari bahaya dan gangguan penyakit apa pun. Tetesan
yang keenam menjadi Dawa Dewi yang biasa membantu para Dukun – Dukun
jika diperlukan. Tetesan yang ketujuh menjadi Kota ( Desa ) tempat Roh
orang yang sudah mati, Tetesan ini disebut Tumpuk Tunjung Panu, Guha
Mari Dandrahulu. Jadi setelah manusia pertama ini mati, dialah yang
pertama menempati Kota ( Desa ) tersebut. Diatas dia bernama Datu
Tunjung Panu Maharaja Dandrahulu. Demikian riwayat kejadian tetesan air
dari puncak gunung kecil tadi.
Adapun
riwayat kegelapan dan kekabutan alam masa itu, manusia berdua tadi
seolah – olah tertidur nyenyak tanpa bergerak apa – apa, namun tiba –
tiba datang cahaya matahari membelah kegelapan dan kekabutan tersebut
yang disebut bahasa Janyawai Batung Nyi’ai Hawi Teka Ruyu, Telang Suluh
Jaku Talinguan. Maka terbangunlah manusia tadi dan saling berpandangan
satu sama lain, maka timbul birahi saling mencintai, maka berpelukanlah
mereka berdua langsung bersetubuh, dari hasil persetubuhan mereka berdua
tadi menetes air kemaluan manusia pertama tadi kebumi dan tumbuh jadi
kayu – kayuan, rumput – rumputan, menetes lagi keduakalinya air
kemaluanya ke bumi, hidup jadi berbagai marga satwa memenuhi alam purba
itu, berbagai jenis binatang di bumi dan berbagai jenis burung di udara,
maka berkumpulah mereka bersama dialam purba itu satu bumi, satu alam,
satu bangsa (satu mahluk), satu bahasa yaitu bahasa purba ( Bahasa Nahu )
yang artinya saling mengerti, namum belum menpunyai adat istiadat.
Kerena belum ada pengaturan dari Allah mula Allah ( yang mencipta tadi
). Maka alam purba tempat berkumpul tersebut dalam bahasa Janyawai Suku
Dayak Ma’anyan disebut ‘” Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai “.
Demikian
sekilas ceritera asal usul adanya manusia Suku Dayak Ma’anyan didapat
dari saudara RADEN KUTAR SUTA UNO ( Cicit dari RONGGO SUTA UNO ). Namun
tempat alam purba itu tidak dapat beliau beri petunjuk, karena
diperkirakan terjadinya sebelum abat masehi. Adapun perkembangan
selanjutnya akan diutarakan seterusnya hingga masa sekarang.
C.
PERKEMBANGAN DUNIA PURBA MENURUT KETERANGAN ( RADEN KUTAR SUTA UNO )
INI YANG DIA PEROLEH DARI NENEK, KAKEK YANG MENITIS PADA DIRI
PRIBADINYA.
Riwayat perkembangannya adalah sebagai berikut :
Pada
masa itu perkiraan masih dalam jaman pra sejarah karena tidak diketahui
lokasi tempat kejadian dan tidak diketahui tempat waktu kejadian, jadi
mungkin karena ceriteranya mereka belum mempunyai hukum dan Adat
Istiadat, apalagi dunia pendidikan yang biasa memberitakan secara
sensitive, hanya sistematik sambung – menyambung dari generasi ke
generasi, dari mulut ke mulut, maka terjadilah kelanjutan ceriteranya
ialah sebagai berikut : Dalam Tumpuk Lalung Kawung, Gumi Rarak Ransai,
mereka berkecamuk mengadakan hubungan seks dan bunuh membunuh, terkam
menerkam, maklum antara manusia dan binatang marga satwa masih menyatu
dalam satu kampung, satu wilayah, satu tanah air, satu bahasa, satu alam
yakni alam purba, tanpa ada aturan dan pengaturan baik secara hukum
maupun secara adat dari Sang Pencipta.
Menurut
kisah ini karena berkecamuknya mereka pada masa itu saling kejar
mengejar, maka meluaslah bumi ( Tane Tipak Sulau ) tadi yang ditempati
Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai, sehingga mereka dapat berpindah
– pindah tempat / pemukiman. Adapun lokasi perkembangan menurut
ceriteranya terjadi menjadi 4 (empat) lokasi perpindahan dalam dunia
purba itu antara lain sebagai berikut (dalam bahasa Janyawai) ini : 1.
Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai
2. Perpindahan kedua yaitu, Tumpuk Pupur Matung
3. Perpindahan ketiga yaitu, Tumpuk Sida matung
4. Perpindahan ke empat yaitu, Tumpuk laliku Maeh
Empat
lokasi purba ini tidak diketahui tempatnya di bumi sehingga tidak dapat
ditelusuri untuk bahan penelitian. Pada lokasi terakhir dunia purba
ini, yaitu: Tumpuk Laliku Maeh ini mempunyai hikayat (ceritera)
tersendiri. Ceritera tersebut adalah sebagai berikut : Pada Tumpuk
Laliku Maeh mereka mengangkat (menubat) dalam bahasa Janyawai yaitu
Nudus salah satu dari mereka pimpinan atau mengepalai mereka yang nama
dan pangkat jabatan dalam bahasa janyawai ada tiga yaitu :
1. Raksapateh
2. Singa Galanteh
3. Using Dukut Nungu Dapur
Tapi
menurut ceriteranya meskipun sudah dilantik (didudus) tiga pengurus
tadi namun keadaan dan ketentraman di Tumpuk Laliku Maeh ini tidak
terkendali, malah pengankatan tiga pengurus itu memicu kepada kekacuan
semakin bertambah akibat iri mengiri, dengki mendengki, hanya terbukti
dari ajaran ketiga pemimpin mereka ini yaitu berhitung dengan bahasa
waktu itu dari satu sampai duabelas, yang hitungannya sebagai berikut :
1. Satu : Sau
2. Dua : Karuaw
3. Tiga : Katalu
4. Empat : Manapitaw
5. Lima : Kaebak
6. Enam : Kapapak
7. Tujuh : kalempat
8. Delapan : Karewaw
9. Sembilan : Katumang
10. Sepuluh : Pahapaw
11. Sebelas : kaminting
12. Duabelas : Buk Ok
Itulah
perhitungan di Tumpuk laliku Maeh masa pimpinan Raksa Pateh, Singa
Gantaleh, Using Dukut Nungu Dapur. Jadi perhitungan kelompok 12 ini
sampai sekarang diwarisi oleh Suku Dayak Ma’anyan disebut selusen (satu
lusin).
Selanjutnya
di Tumpuk laliku Maeh ini makin hari makin kacau diman – mana
hububungan seks antara manusia dengan berbagai marga satwa, antara ibu
dengan anak, antara anak dengan bapak antara anak dengan cucu, antara
cucu dengan nenek pendeknya berkecamuklah dosa. Begitu perkelahian
berkecamuk antara manusia sama manusia, antara manusia dengan berbagai
binatang dan antara binatang sesama binatang, sehingga tidak terkendali
lagi. Maka prihatinlah rupanya Allah mula Allah (Sang Pencipta) karena
melihat kehancuran Tumpuk Laliku Maeh oleh karena belum ada hukum adat
untuk mengatur tata tertib dan keamanan mereka.
Maka
ditengah – tengah kekacauan tersebut, jatuhlah segumpalan benang kusut
sebesar buah kelapa disebut Tundun Taking atau dalam bahasa janyawai
Amas Tukal Banang Juwet, Mirah Rawai Wali Halun, dengan disertai pesan
dari Allah mula Allah, siapa diantara mereka bisa membuka benang kusut
tersebut dengan tidak diputus – putus dan disambung – sambung, sehingga
terbuka dalam keadaan utuh dan baik maka dialah yang menjadi pemimpin
pemutus hukum adat guna menindak yang salah dan memberi kesaksian bagi
yang benar.
Maka
berebutanlah mereka membuka gumpalan benang kusut itu dengan maksud
ingin menjadi pemimpin mereka, setelah silih berganti mereka jangankan
bisa terbuka malah makin kusut. Lalu datanglah 12 anak muda yang
kelihatan cakap dan cerdas langsung silih berganti membuka gumpalan
benang kusut tersebut, jangankan terbuka malah semakin kusut lagi dan
semakin bertambah.
Hanya
tinggal sorang perempuan tua lanjut usia yang tinggal dibalik dinding
luar tidak diperkenankan masuk, karena kejijikan mereka padanya, dengan
tidak disangka – sangka datanglah Roh Dawa Dewi yang berasal dari
tetesan tetesan air Puncak Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura di tane
Tipak Sulau dulu. Lalu Roh dewa Dewi tersebut menyerupai seekor kucing,
setelah seekor kucing ini kesurupan , lalu berkata panggilah orang tua
dari luar dinding itu untuk membuka benang kusut ini. Nama orang tua itu
adalah Etuh yang dipanggil Nini Punyut, setelah dipanggil masuklah
orang tua itu dan mulailah orang tua itu membuka perlahan – lahan
gumpalan benang kusut tadi dengan kesabaran dan ketabahan hati,
kepercayaan iman dan kerja, maka terbukalah (terurailah) benang kusut
tadi tanpa ada cacat cela tepat sebagaimana dipesan Allah mula Allah
tadi.
Maka
tiada dapat dipungkiri lagi bahwa sesuai janji Allah mula Allah tadi,
mau tidak mau orang tua ( Etuh ) atau Nini Punyut inilah menjadi
pemimpin pengatur hukum adat mereka di Tumpuk Laliku Maeh itu. Maka dari
peristiwa kejadian ini Suku Dayak Ma’anyan mengkaji dan membudayakan
terus menerus cara penghormatan dan penghargaan sebaik – bainya terhadap
orang tua, tidak boleh diremehkan dalam keyakinan orang Dayak Ma’anyan,
bahwa orang yang sudah lanjut usia dianggap sebagai ajimat yang bisa
memberi petuah bagi kehidupan anak muda.
Pada
pembukaan lembaran ini terlebih dahulu perlu saya terang ulang bahwa
dari permulaan kisah kejadian tadi sampai berakhir di Tumpuk Laliku Maeh
belum ada pembagaian suku, puak dan ras, masih menyatu Janyawai kisah
munta murunsia jadi simak oleh pembaca belum ada kata Suku Dayak
Ma’anyan itu.
Demikianlah
agar diketahui oleh pembaca. Ceritera selanjutnya dalam kejadian ini,
orang tua Etuh (Nini Punyut) tadi diperintah oleh Allah mula Allah untuk
membuat peraturan tata tertib, adapt istiadat, guna mengatur tata
kehidupan di Tumpuk Laliku Maeh. Terlebih dahulu Etuh mengatur hukum
adat, namun hanya umat Munta Murunsia yang tunduk dan menerima. Tapi
seluruh mahluk marga satwa menolak dan menentang, maka terjadilah dua
perbedaan umat Munta Marunsia menganut adat istiadat, sedangkan mahluk
marga satwa tetap menganut tradisi lama, maka selalu saling terjadi
pertengkaran dan tidak jarang selalu membawa kepada perkelahian.
Sesudah
itu Etuh mengurai peraturan, semua manusia tunduk, marga satwa separuh
yang tunduk, separuh yang tetap tidak tunduk peraturan Etuh itu. Jadi
terbukti sampai sekarang marga satwa tidak tunduk adat, tapi separuh
tunduk peraturan. Terbukti babi hutan dan babi peliharaan, Babi hutan
tidak tunduk adat dan peraturan, tetap lari kehutan. Babi peliharaan
tidak tunduk adat, tapi tunduk peraturan, maka babi peliharaan bisa kita
kurung dan dipelihara. Babi hutan biar kita pelihara 100 tahun lamanya,
bila kita lepas tetap liar lari kehutan. Demikian lain-lainya yang sama
jenis dihutan dan yang kita pelihara.
Maka
oleh karena jauh perbedaan tradisi lama dengan adat istiadat yang
diatur oleh Nini Punyut ( Etuh ) tadi, maka Allah mula Allah datang
memberi saran kepada Nini Punyut lebih baik mengalah atau pindah dari
Tumpuk Laliku Maeh ke pemukiman baru yang ditunjuk oleh Allah mula
Allah, yaitu Tumpuk Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam, Maka menurutlah
Etuh petunjuk Allah mula Allah itu dan pindahlah Etuh (Nini Punyut)
membawa umat munta murunsia ke tanah Tumpuk Sani Sarunai, Gumi Ngamang
Talam yang baru ini. Dari kejadian inilah mulai berangsur – angsur
hilangnya bahasa asal kejadian dunia, karena terpisah pergaulan umat
munta murunsia dengan marga satwa dibatasi oleh hukum adat istiadat
tadi. Lalu perkembangan selanjutnya umat munta murunsia hidup
dipermukiman baru di Sani Sarunai, Gumi Ngamang Talam dibawah pimpinan
Nini Punyut (Etuh) yang mengatur hukum adat istiadat dan membudayanya
dengan alam sekitarnya. Sehingga hidup rukun damai berbaur dengan
potensi alam yang ada disekitar mereka.
Dari
permukiman Sani Sarunailah umat muna murunsia mulai masuk jaman
sejarah, jaman yang mulai diatur dengan adapt istiadat dan menyatu
keadaan bumi Sani Sarunai tempat mereka bermukim. Lalu di Sani Sarunai,
Gumi Ngmang Talam inilah juga munta murunsia mengadakan organisasi
sisial yang disebut dalam bahasa Janyawai ” Pangunraun Jatuh, Ngampet
Malem Balah Riwu “, karena perkembangan jiwa umat munta murunsia itu
sudah beratus – ratus bahkan beribu – ribu jiwa banyaknya.
D. KEGIATAN UMAT MUNTA MURUNSIA DIBAWAH PIMPINAN NINI PUNYUT (ETUH) DITUMPUK SANI SARUNAI (TUMUK BARU).
Pada
pemrmulaan ceritera baru ini, perlu saya ulangi kegiatan Nini Punyut
semasa mereka masih di Tumpuk Laliku Maeh. Pada waktu Nini Punyut
menerima perintah dari Allah mula Allah untuk membentuk hukum adat dan
peraturan di Tumpuk Laliku Maeh, Nini punyut langsung menerapkan dan
menyebar luas hukum adat dan peraturan kepada seluruh penghuni Tumpuk
Laliku Maeh, namun sebagaimana yang diterangkan dalam kisah terdahulu
tadi, semua mahluk marga satwa menolak hukum adat itu tetapi tentang
peraturan yang diatur oleh Nini Punyut sebagian mahluk marga satwa
menerima, oleh karena itu sebagian dari mahluk marga satwa yang tunduk
pada peraturan Nini Punyut dapat dipelihara oleh Munta Murunsia. Oleh
karena itulah sampai sekarang dari seluruh umat mahluk marga satwa ada
komponen yang biasa dipelihara manusia, tetapi ada komponen yang tidak
mau dipelihara oleh manusia tetap menolak hukum adat karena dari Tumpuk
Laliku Maeh dulu kelompok marga satwa bersatu menolak hukum adat yang
diterapkan oleh Nini Punyut. Demikianlah ceritera ulang kegiatan Nini
Punyut di Tumpuk Laliku Maeh dulu.
Selanjutnya
ceritera ini menceritakan kegiatan mereka di Tumpuk Sani Sarunai, di
Tumpuk Sani Sarunai mereka dibawah pimpinan Nini Punyut mengadakan
penelitian, percobaan, penyeringan potensi alam yang ada diwarisi dari
masa kejadian di Tane Tipak Sulau dulu, yang mana potensi alam itu yang
biasa menjamin daripada kelangsungan hidup umat Munta Murunsia untuk
selama – lamanya setelah diuji dengan cara mereka pada masa itu,
ternyata padilah yang dapat menjamin kelangsungan hidup umat Munta
Murunsia sedangkan padi ini sangat kecil bijinya dari buah – buahan yang
lain, maklumlah biji padi ini hanya berasal dari setetes air dari
puncak kedua Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura yang tumbuh diatas dada
Dara Mula Lapeh, Suraibu Hengkang Ulun, waktu kejadian di tane Tipak
Sulau dulu.
Begitu
dibidang perlindungan umat Munta Murunsia diuji coba membikin suatu
tempat mereka berteduh dari terik matahari dan kecurahan hujan, yang
disebut dalam bahasa Janyawai ” Bali Karunrung Rahu, Sarungayan Payung
Uran “. Ini berbentuk mirip gubuk, namun tidak ada dinding dan lantai.
Dari uji coba ini, kayu – kayuanlah yang mampu memberi perlindungan
untuk mereka. setelah itu Nini Punyut mengajak mereka menyebar luas
bibit kayu – kayuan, rumput – rumputan guna keperluan mereka kemudian
hari, ternyata marga satwalah yang mampu menyebar luaskannya dari cara
memakan buah – buahan lalu berkeliaran dihutan lingkungan dan berak
sembarangan, maka tumbuhlah biji buah – buahan , kayu – kayuan yang
berasal dari satu tempat menyebar kelain tempat sehingga menjadi luaslah
hutan wawasan lingkungan mereka.
Oleh
karena itu menyatulah tata kehidupan umat Munta Murunsia dengan keadaan
alam sekitar mereka dibawah kepemimpinan Nini Punyut (Etyh) ini. Di
Tumpuk Sani sarunai . Nini Punyut mengatur adat suami isteri tidak boleh
umat Munta Murunsia mengadakan hubungan seks laki – laki dengan
perempuan kalau tidak melalui hukum adat perkawinan yang mana hukum adat
perkawinan diwarisi dan membudaya di tanah Dayak Ma’anyan sampai
sekarang.
Begitu
juga tentang kematian juga diatur dengan hukum adat dibidang kematian,
kerena sebagai penghargaan kepada umat Munta Murunsia semasa di dunia
tunduk dengan pengaturan tata tertib adat istiadat yang ada, maka rohnya
pun diatur dengan hukum adat kematian, pindah dari dunia ini ke kota (
desa ) Datu Tunyung Puno, Maharaja Guha Mari Dandrahulu, yang kota
tersebut berasal dari tetesan yang ke tujuh, tetesan air dari puncak
kedua Gunung Madu Rahu, Watu Papat Lamura, yang teruarai ceriteranya
pada masa kejadian Allah mula Allah. Hanya adat kematian ini ada tumpang
tindih dengan adapt kematian agama Hindu semasa agama hindu memasuki
wilayah Dayak Ma’anyan karena agama Hindu menganut hukum kasta lalu
terkungkunglah adapt kematian di Dayak Ma’anyan dengan hukum kasta tadi.
Jadi
sulit menggali perbedaan hukum adat yang diatur oleh Nini Punyut dengan
hukun adat yang dibawa agama Hindu karena sudah berabad – abad berbaur.
Adapun ceritera seterusnya tentang kehidupan umat Munta Murunsia
dibawah hukum adat dan hukum aturan berjalan terus ditumpuk Sani
Sarunai, mereka mengatur perladangan, perkebunan untuk melestarikan
bibit padi – padian, buah – buahan yang berasal dari tanah kejadian
sebagaiman yang telah diceritakan terdahulu dengan menelusuri adat,
peraturan yang yang telah disebar luas oleh Nini Punyut (Etuh) setelah
adat istiadat dan hukum dan peraturan itu sudah membudaya diseluruh
lapisan kehidupan masyarakat Tumpuk Sani Sarunai, maka sampailah ajalnya
Etuh ( Nini Punyut ), dengan meninggal hukum adat istiadat dan
peraturan kepada seluruh umat Munta Murunsia di Tumpuk Sani sarunai dan
meninggalkan seorang anak yakni ” AMAH JARANG ” yang dalam bahasa
Janyawai ” Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei “, inilah penerus
kepemimpinan adat istiadat seterusnya.
Lalu
Nini Punyut ini diadakan upacara adat penguburan ( adat kematian )
serta menanam satu pohon sawang disebut Dayak Ma’anyan ” Rirung” sebagai
tanda kuburan Etuh ( Nini Punyut ). Setelah meninggalnya Nini Punyut ,
berkesanlah dihati umat Munta Murunsia khususnya suku Dayak Ma’anyan
yang mengetahui riwayat ( sejarah ) kepemimpinannya Cuma sayang tidak
diketahui tepat waktu (tanggal dan bulan ) dia meninggal, karena pada
waktu itu belum ada pendidikan tulis menulis karena Nini Punyut ( Etuh )
tidak ada mengajar hurup abjad dan angka – angka hanya sesuatu yang
penting menjadi peringatan ditandai oleh tanda alam yaitu berupa batu
diletakan atau kayu – kayuan ditanam.
Demikian
halnya kuburan Nini Punyut sekarang ada buktinya dapat ditelusuri yakni
di Tamak Sapala. Itu sebuah pulau kecil ditengan danau Kabupaten Barito
Kuala ( Marabahan ) karena bekas Tumpuk Sani Sarunai dulu adalah Tamak
Sapala di Danau Panggang Privinsi Kalimantan Selatan, karena Tamak dalam
bahasa Janyawai Kuburan Sapala Kapala. Jadi Tamak Sapala berati kuburan
Kepala ( Pemimpin ).
Kembali
lagi kita menyimak ceritera selanjutnya mengenai kehidupan di Tumpuk
Sani Sarunai. Dipimpin Amah Jarang ( Datu Telang Tuha Maharaja Wulu
Kesai Lawei ), pada waktu itu di Sani Sarunai bermunculan Datu – Datu
antara lain yang saya ingat :
1. Datu Telang Tuha Maharaja Wulu Kesai Lawei ( Amah jarang )
2. Datu Bias Layar Maharaja Tampi Pidagangan ( Amah Idung )
3. Datu Masuliaung Maharaja Amah Engkai ( Amah Engkai )
4. Datu Nuwung Sigai Maharaja Repan Uyur ( Amah Anggar )
Itulah
yang saya ingat, banyak Datu lain lagi namun saya lupa, boleh
ditelusuri dari orang Ma’anyan yang lain. Begitu juga Dara banyak sekali
hanya yang saya ingat antara lain :
1. Dara Tamurak Sunsu ( Ibu jarang )
2. Dara Luwuk Banang Suraibu Ngibar Kapas ( Ibu Idung )
3. Dara Luwuk Banang Suraibu Ngibar Epai ( Ibu Tengkai )
4. Dara Tunrak Nyi’ai Gandring Layu ( Ibu Anggar )
Disamping itu banyak pemuda pemudi yang dalam organisasi social mereka disebut ” Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu “,
antara lain yang saya ingat yang laki – lakinya sebagai berikut :
1. Idung
2. Jarang
3. Tengkai
4. Talengo
5. Iban
6. Bangkas
7. Patis
8. Anyawungan
9. Anggar
10. Paning
11. Nalau
12. Pasungan
Lalu yang perempuannya adalah :
1. Silu
2. Ave
3. Layu
4. Lelai
5. Pantiwuyuk
6. Awahat
Organisasi
social pangunraun ini mengurus kegiatan ke bidang ekonomi yakni
melestari ajaran almarhum Etuh untuk mengadakan perladangan, membudidaya
bibit padi – padian dan buah – buahan begitu juga dibidang kesenian
yang paling menonjol diantara pribadi mereka adalah Jarang , kerena ia
selalu menjinjing gendang ( tabuh ) dan sambil bekerja sambil menabuh
oleh kerena itu Jarang disebut Rapui Palu.
Pada
suatu masa perladangan mereka mengadakan berkelompok dan diadakan pesta
pengorbanan yaitu membunuh seekor binatang peliharaan mereka guna
darahnya untuk mengelas tanah perladangan agar padi – padian, buah –
buahan hidup dengan subur menurut adat yang diajar oleh almarhum
pemimpin mereka yakni Nini Punyut. Setelah mereka membuat perladangan
jarang yang paling kecil ladangnya hanya mengelilingi sebuah pohon yang
disebut pohon Dalie karena dia kerja sambil menabuh gendang tadi, tangan
kanan kerja, tangan kiri menabuh gendang. Setelah masa panen datang
seorang perempuan tua mau ikut memotong padi membawa sebuah keranjang
yang besar sekali, disebut waktu itu ” Bake Kariring Anrau, Tawang Iya
Ta’u Nyarau ” yang artinya sesat anak umur 12 tahun ditengah keranjang
itu oleh sebab itu semua pangunraun menolak orang tua itu tidak mampu
mengisi padi kedalam keranjang besar itu, setelah orang tua itu sampai
pada ladang jarang yang hanya mengelilingi sebuah pohon tadi maka
diterima oleh Jarang lalu mulailah orang tua itu memotong padi.
Pokoknya
berbulan – bulan orang tua itu memotong padi Jarang tidak bisa selesai
dan berpuluh – puluh lumbung padi Jarang penuh belum juga bisa selesai,
akhirnya bosan Jarang membuat lumbung maka mengusul Jarang pada orang
tua itu agar menyelesai potongan padi itu, setelah menerima usulan itu
segera orang tua itu menyelesai panen itu, maka pendapatan padi
terbanyak kepunyaan Jarang daripada pendapatan kawan – kawannya yang
besar ladangnya kerana orang tua itu mempunyai muzisat tersendiri.
Nama
orang tua itu ” Itak Pumpun Wusi ” setelah Jarang menumpuk padi
terakhir kedalam lumbung orang tua itu jatuh roboh jadi batu. Itulah
asal batu ajimat padi yang banyak tersimpun oleh Suku Dayak Ma’anyan
yang disebut oleh Dayak Ma’anyan ” Watu Panampareian ” yaitu berasal
dari Itak Pumpun Wusi masa kemakmuran Sani Sarunai.
Ada
satu lagi ceritera perladangan yang sangat berkesan yakni perladangan
awahat dengan suaminya Nalau mereka berdua ini bekerja tani siang dan
malam tidak perduli terik matahari ataupun kucuran hujan siang malam
tidak mengenal lelah maka berlimpah ruahlah hasil panen mereka berdua
namun pada suatu ketika perempuan Awahat bekerja pada malam hari
terpotong tangannya sebelah kiri dari itu Awahat tidak dapat berkerja
lagi lalu merenunglah ia atas nasibnya, tiba – tiba datang Roh Dewa Dewi
yang berasal dari tetesan puncak gunung Madu Rahu kisah masa kejadian
dulu. Roh Dewa Dewi itu menyerupai Awahat setelah dia kesurupan maka
berkatalah ia,
Aku
ini tidak guna tinggal di Sani Sarunai ini aku akan berangkat ikut Roh
Dewa Dewi ke langit dan aku pesan pada kalian yang masih tinggal di bumi
setiap tahun bintangku satu kali mengelilingi bumi lihat pada malam
hari bila aku datang dari ufuk timur dan kalian sambut dengan telapak
tangan dan biji padi ditelapak tangan, bila biji padi itu jatuh dari
telapak tangan waktu kalian menyambut kedatangan ku pada sore hari
itulah tandanya waktu menugal padi. Sesuadah ia berkata demikian
terbanglah Awahat dan tinggal di langit menjadi bintang petunjuk suku
Dayak Ma’anyan menanam padi. Nalau melihat isterinya terbang ke langit
beringaslah suaminya Nalau dia bongkar ranjau babinya dari ladang lalu
dilempar ke langit maka melekatlah ranjau itu menjadi bintang petunjuk
dilangit yang disebut orang Jawa ” Lintang Luku ” bintang ranjau ini
jadi petunjuk Suku Dayak Ma’anyan bila ia timbul dari ufuk timur
tandanya menanam padi sudah lewat waktu.
E. KEMAKMURAN SARUNAI DAN PEPERANGAN
Bahasa
Pangunraun Jatuh ( Janyawai ) ” Sipumpun Here Pangunraun Jatuh,
Sansayuh Ngampet Malem Balah Riwau, Simpumpun Yeru Kala Adu Nyawung,
Isansayuh Sa Alang Nansarunai, Gimutuh Kala Wani Pasi’au Ra’an, Gamuruh
Alang Nuan Bakarabut Jangkeng, Gimutuh Hang Tane Nansarunai, Gamuruh
Muneng Gumi Ngamang Talam Daya Sameh Ngumung Here Donayu, Pada Nanra
Here Sanapahidun Tuhan.
Sameh
Ngumung Here tatanggul agung pada nanra here puparau ganing , tatunggul
agung teka Datu Nini Punyut Puparau ganing maharaja Etuh Mula. Nini
punyut yeru Datu Ngurai hukum Etuh mula maharaja merang hadat luwan rami
raya here tumpuk Nansarunai guruh ginak yeru Gumi Ngamang Talam luwan
sarunai kala bangun tangui Ngamang Talam yena alang buka paying Sarunai
ngamuan pantar ngamang talam magantangun tungkup Sarunai mangamuan
sanggar ngamang Talam magantangun panti, Sarunai ngamuan balai ngamang
talam magantangun jaru, mangamuan hanye balai pidudusan magantangun jaru
tapung jangka. Pidudusan kawan mantir ngurai hukum, tapung jangka
maharaja merang hadat. Sarunai mangamuan benteng, ngamang talam
magantangun balat. Sarunai mangamuan parung, ngamang talam mangantangun
malegai, parung layu hanye kala talak unru, malegain lelai alang intai
wulan, layua ni jawan wawai, lelai tumpa huli dayang.
Manguntur
Sarunai tawah wau, kudalangun ngamang talam sipat hanyar. Manguntur
yena uneng adu nyawung, kudalngan yeru ina masang kamar. Panyawungan
kawan anak Nanyu jatuh, pangamaran sukat bunsu lungai riwu. Nanyu jatuh
sa minau adu nyawung, lungai riwu sa turun masang kamar. Nanyauo jatuh
sa minau nyarang sepak, lungai riwu sa turun nyansang singki. Luwan
sarunai hanye kala here jatuh, ngamang talam alang rakeh riwuo, luwan
rami raya Tumpuk Tane Nansarunai, guruh ginak yeru gumi ngamang talam.
Uei jaku tumpuk Nansarunai, kuai jaki gumi ngamang talam. Daya hawi
umpui ngadunungan Rahu, jaku uyang ngapupasan bala. Mangamet nileng
hapapuru ulu. tabunau nganya umun lalan sikan, munsit napi erang balai
natat, kutuk marap jaruo talunya’an. Tau baker hante ngumungpapuru ulu,
berang ranrung nutup lalan sikan, tau bakir hante lawu pamupale, berang
ranrung gugur pamaluku.
Tapi
engen tangkis baker lawu hasubarang, kilung berang gugur mampang ipai.
Daya na’an tugas tumpuk hanye nganrei simpang lalan, raring bala nunup
minsang ennui. Tuga tumpuk ulun mangalima, panungkulan manguratas runsa.
Engen samuliah baker teka pamupale, samulikir berang hingka pamaluku.
Tapi puang iyuh heput umpui putut sangar, ngahu dapat sasar uyang
ngumung pati. Puang hampe wulan yena ngadunungan rahu, ngahu nyaing
ta’un yeru ngupasan bala, gutuk banung jawa hawi nyarang rungu, ngunrah
pilu kawan gurun nantang patis. Gutuk jawa ulun mangamuan tumak, gundrah
gurun ulun mangantangun luwuk. Hawi jawa ulun lepuh nyasar benteng jaku
gurun ulun tulak mungkas balat.
Puang
iyuh sangkuriung Sarunai usak jawa, ngahu dapat sangkuwengan ngamang
talam gunrah gurun. Daya wurung umpui haut tudi ulu tukat, munsit uyang
pada nakei amau adan. Luwan sarunai haut jari rirung rume, ngamang talam
janang kamat lulun, rirung rume hanye daya usak jawa, kamat lulun alang
gunrah gurun, luwan Sarunai lenuh jari danau, ngamang talam luyak
janang luyu.
Puang
ure gawe jawa nyasar benteng, ngahu baling irau gurun mangkas balat.
Daya pudayar Damung mangaturan jawa, patis karis raja manyusunan gurun.
Ngatur jawa minauo paparangan, nyusun gurun turun panyarangan. Luwan
Sarunai hanye jari uran tumak, ngamang talam janang rieh luwuk. Luwan
Sarunai lenuh jari danau ira, ngamang talam luyak janang luyu riang,.
Ekat jawan silu sa rari nanan sangar, dayang Ave hamulu nului panti.
Amput mepet pusuk hanye kayuo saramelum, nyurah taruk tamu malar
mangamuan matei. Ngungkung ilau kapas supu panyamare, namput awai supu
pangujahan. Yeru lenuh tumpuk nansarunai, luluh luyah gumi ngamang talam
rining rume hanye jari danau ira, kamat lulun janang layu riang. Puang
iyuh sangkuriung mula umpui ulu tukat, ngahu dapat sangkuwengan uyang
lawei aden. Banunag jawa galis irariwut mudi, pilu gurun haut inguangin
matuk. Hawi silu ngumpul bangkai Pangunraun Jatuh, jaku Ave natai patei
ngapet malem balah riwau, palus mapai hanye ilau panyamare, nawurahi
awai pangujahan, palus ngebur hanye anri pusuk kayuo saramelum, mapas
mapai ma taruk tamu malar mangamuan matei. Palus maumele here Pangunraun
Jatuh, maumelan ngampet malem balah riwu. Palus ikilang antang here
tane ngatanguan, nginte tenung gumi ngapanalan. Maka lawu ma’eh here
mamai gunung rumung, palus isunsaing here ma gumi ipah bawi.
Demikian
sekilas peristiwa Sani Sarunai dengan bahasa Janyawai, agar Suku dayak
Ma’anyan dapat merenung hal kemakmuran dan kehancuran dilanda peperangan
yang disebut Perang Sarunai.
DIBAWAH INI KAMI TERJEMAHKAN DENGAN BAHASA INDONESIA DARI BAHASA JANYAWAI DIATAS ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
Sebagaimana
telah diterangkan pada ceritera terdahulu bahwa setelah adat istiadat
dan peraturan hidup di Sani Sarunai diterapkan oleh Nini Punyut ( Etuh )
dan mulai dibudayakan dimasyarakat, Nini Punyut meninggal dunia.
Dilanjut
oleh Amah Jarang (anaknya) mengajak masyarakat membangun kehidupan
bersama – sama berlandaskan hukum adat dan peraturan yang sudah mereka
akui. Maka tercapailah kemakmuran dan keadilan untuk seluruh masyarakat
Sani Sarunai. Dibangun Balai Panung ( Mahligai ), Pamungkulan, Pantar,
Panti Jagat, Balai Adat, Mangguntur, lapangan olah raga dan lain – lain.
Maka ramailah Sani Sarunai berpuluh – puluh tahun bahkan beratus –
ratus tahun sehingga tersebarlah berita kemakmuran Sani Sarunai ke
daerah lain.
Namun
pada suatu hari datang seekor burung elang yang diserupai oleh Roh air
tetesan ke enam dari puncak Gunung Madu Rahu ditanah kejadian dulu dan
elang tersebut menari diatas kepala Amah Jarang sambil menagis, pertanda
ada bahaya besar menimpa Kota Sani Sarunai. Oleh karena itu Amah Jarang
mengumum kepada seluruh masyarakat agar berjaga – jaga sebab bahaya
besar akan menimpa kota mereka. Masyarak adat kehidupannya tidak ada
angkatan perang khusus hanya keamanan ditanggung bersama berdasar
kesatuan masyarakat. Tidak berapa lama dari kejadian elang tersebut,.
Tiba – tiba datang ratusan kapal perang dari seberang lautan dengan
membawa serdadu penuh dengan kelengkapan senjata tombak, keris, pedang
kalewang, langsung mendarat menyerbu kota Sani Sarunai maka terjadilah
pertempuran sengit sambil bakar membakar. Maka terjadilah banjir darah,
lautan api menimpa kota Sani Sarunai disertai hiruk pikuk, pekik teriak,
datangah pertempuran seru itu, hanya Ave dan Silu sempat melarikan diri
serta membawa cupu tempat minyak dan kapas dari hasil tetesan ke tiga
air dari puncak gunung madu Rahu ditanah kejadian, dan sempat mematah
pucuk kayu yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, hasil dari
tetesan pertama air dari puncak Gunung Madu Rahu ditanah kejadian dulu.
Setelah kota Sani Sarunai hancur jadi abu dan penuh dengan darah,
pulanglah pasukan dari negeri seberang itu dengan meninggalkan komandan
pasukan mereka yakni Tuan Pudayar gugur dalam pertempuaran itu terbunuh
oleh Sangumang ( Pasungan/Kilip ). Setelah kapal perang dari negeri
seberang habis pulang kembalilah Silu dan Ave dari tempat persembunyian
mereka, melihat mayat Pangunraun Jatuh, Ngampet Malem Balah Riwu beserta
seluruh rakyat Sani Sarunai bergelimpangan tumpang tindih , susun
menyusun, maka segera Silu dan Ave memilah mayat musuh dan mayat
penduduk Sani Sarunai, langsung menabur minyak dari cupu yang mereka
bawa lari itu ke seluruh mayat yang ada. Kecuali mayat – mayat musuh,
antara lain mayat Tuan Pudayar. Lalu mereka berdua mengipas dengan pucuk
kayu saramelum yang sempay mereka patahkan waktu mereka lari itu.
Setelah
dikipas, terbangunlah semua mayat – mayat Pangunraun itu serta rakyat
lainnya. Hanya sayang pohon kayu saramelum itu ikut hancur terbakar,
jadi tidak ada dilestarikan sampai sekarang. Setelah bangun hidup
kembali mereka berkumpul musyawarah mencari tempat mereka pindah, maka
bercerai berailah pendapat mereka. Pangunraun Jatuh naik ke Gunung
Rumung, Maraja Haji berangkat ke Matahari terbit / hidup, Pasungan (
Sangumang ), Nalau, Ave dan Silu, Gayuhan mudik Barito, dan Gantang,
Supak Sangkanak ke matahari terbenam ( arah barat ). Maka pecahlah
mereka dari Sarunai dan mengadakan kelompok hidup masing – masing tidak
diketahui tempatnya.
Hanya
yang kami ketahui didapat ceritera riwayatnya dari orang tua kami (
Nenek / kakek ) kami yakni Pangunraun Jatuh, karena mereka naik ke
Gunung Rumung, Gumi Ipah Bawi, yakni didaerah Amuntai, sekarang
Kabupaten Hulu Sungai Utara , ada sampai sekarang dibuktikan dengan
Candi Laras, itu bekas tumpuk Gunung Rumung, Gumi Ipah Bawi, yaitu kota
perpindahan Pangunraun Jatuh dari Sani Sarunai yang hancur lebur itu.
Riwayat
kehidupan Pangunrau di Gunung Rumung setelah mereka memasuki hutan
yuang disebut waktu itu Gunung Rumung. Mulailah mereka membabat hutan,
mengadakan perladangan sambil mengurbankan berbagai binatang peliharaan
yang mereka bawa masing – masing dari Sani Sarunai waktu mereka
bertebaran mengikuti arah tujuan hidupnya maisng – masing. Bibit dan
binatang peliharaan tersebut sisa dari kehancuran di sani Sarunai yang
sangat mengesankan dalam ceritera ini, bahwa di Gunung Rumung ini sangat
sulit mencari air. Oleh sebab itu mereka sangat sulit mengatur hidup.
Pada malam hari bermimpilah Amah Jarang datang dari Roh Dewa Dewi dari
tetesan air yang ke enam, memberi petunjuk agar Amah Jarang membakar
dupa kemenyan dan mencampur biji beras dengan minyak dan kunyit, supaya
beras tersebut kuning dan menabur sebagai pesuruh menuju Roh tetesan air
yang ke lima dari tanah kejadian dulu, supaya tersebut bisa memberi
petunjuk dimana bias mendapat mata air yang bias mencukupi kehidupan
mereka.
Setelah
bangun, lalu dilaksan Amah Jarang sesuai mimpi itu. Dengan tiba – tiba
datang seekor elang dan terbang berputar – putar diatas sambil berbubnyi
kuik – kuik, pertanda keriangan. Lalu dicoba Amah Jarang mengikuti
terbang elang tersebut, ternyata terbangnya mendaki sebuah bukit, terus
saja diikuti Amah Jarang mendaki bukit itu, yang nama waktu itu Gunung
Karunrung Watu, Saing Liang Kayun Tahan. Setelah sampai ke puncaknya,
ternyata memutar – mutar elang itu sambil berbunyi kuik – kuik, tanda
kesukaan. Setelah Amah Jarang meneliti dengan cermat, ternyata dibawah
dia terbang berputar itu, ada onggokan batu – batu besar. Setelah Amah
Jarang melihat dibawah onggokan batu itu, dan ternyata mata air
dibawahnya. Itulah mata air yang disebut waktu itu ” Ugang Amah Jarang ”
. Dari mata air itulah mereka bisa bertahan membikin kampung, lama –
kelamaan menjadi kota, itulah disebut Tumpuk Gunung Rumung, Gumi Ipah
Bawi.
Lama
kelamaan bersemarak kemakmuran tumpuk Gunung Rumung hanya sayang
penduduknya tidak sebanyak di Sani Sarunai karena pada musyawarah
mencari tempat perpindahan berpecah pendapat dan mereka pecah bertebaran
mengikuti pendapat masing – masing , seperti yang telah diceritera
terdahulu, kelompok Marajahaji berangkat ke arah timur, kelompok Supak,
gantang dan Sangkanak berangkat kea rah Barat dan pasungan ( Sangumang )
, Silu dan Ave, Nalau dan gayuhan membawa kelompok mudik sungai Barito.
Sedangkan Pangunraun Jatuh naik ke Gunung Rumung ini. Itulah
kemakmuran, keramaian di Gunung Rumung, tidak seramai di Sani Sarunai
dulu. Disini kembali saya ceritera kelanjutan kehidupan mereka di Tumuk
Gunung Rumung, menurut ceritera almarhum nenek saya RADEN BUNTU (anak
RADEN SUTANEGARA, cucu RONGGO SUTA UNO ). Nenek saya ini meninggal dunia
tahun 1953 di Desa Talekoi.
Kelanjutan
ceritera ini sebagai berikut : setelah Pangunraun Jatuh ini merasa
cukup kuat perekonomian mereka hasil dari pertanian mereka, timbul
permufakatan, mereka ingin mengadakan penyerangan balasan jke Negeri
seberang ingin mengambil Dara Amas Tukal Banang, Suraibu Mirah Rawai
Wali, yang tertawan oleh serdadu negeri seberang pada perang Sani
Sarunai dulu. Kembali disini perlu saya ceritera ulang pada perang Sani
sarunai, seorang wanita yang cantik sekali bernam Dara Amas Tukal
Banang, Suraibu Mirah Rawai Wali yang tertangkap hidup, dia ini isteri
pejabat adat di Sani Sarunai dulu, dan kepala suaminya dipotong dan
dibawa pulang oleh serdadu negeri seberang sebagai tebusan ( ganti )
komandan mereka yakni Tuan Pudayar yang gugur pada pertempuran Sani
sarunai itu, yang membunuh Tuan Pudayar itu adalah Pasungan (Sangumang)
demikian ceriteranya.
Setelah
permufakatan rampung, berangkatlah mereka dengan memamakai kendaraan
yang disebut pada waktu itu Banawa Samau, kendaraan itu mereka buat
bersayap, sehingga di air bisa meluncur, diudara bisa terbang, yaitu
setelah peluncuran diair berkecepatan lebih tinggi dengan sayapnya dia
bisa terbang meleset ke udara. Maka dapat kita renungkan sekarang,
bagaimana bentuk kendaran mereka itu. Disini perlu saya terangkan,
manusia dulu tidak makan garam jadi makan mereka ringan – ringan tidak
seperti kita sekarang, adanya manusia Dayak ini bisa makan garam datang
dari bawaan budaya Hindu, manusia asli Dayak belum mengenal garam.
Demikian ceriteranya. Selanjutnya setelah mengarungi lautan luas kadang –
kadang meluncur diair, kadang – kadang meleset terbang maka sampailah
mereka pada malam hari.
Langsung
Anggar menyerbu benteng pertahanan musuh pada malam itu juga maka
berkatalah Anggar dalam bahasa Janyawai ” Banawa Jawa Nunung Hatumanri,
Minau tahik Uras Galis Kayem, Luwan Nguliungut Tangis Here Jawa, Kala
Apen Wanie Daya Panai Anggar Nyujuk Ieng Malem “. Singkatnya pertempuran
berkecamuk, hancurlah negeri seberang itu. Namun hanya satu pemuda
negeri seberang itu yang tidak mempan senjata dan tetap bertempur
melawan mereka. Membentang pinai maleh, Jarang menghadapi pemuda itu ..
engan bahasa Janyawai ” Saluang Ipanrapis Bemeng Umpe Jumpun Nikulawit,
Kaleh Jarang Ahu Ngawuwenseng Ngitus Jawu Pamatang Langit. Saluang
Ipanrapis Bemeng Umpe Jumpun Ni Sikulu, Kaleh Jarang Aku Ngawuwenseng
Ngitus Jawu Pamatang Uwu ” mendengar itu membalas pemuda tadi ” Minai
Tuak Aning Erang Asek Raru anri Wulu, Memai Pangkan Aku Mula Maleh Wuri
Datu Hingka Tane Nansarunai. Tuak Aning Aseh Erang Asek Raru Anri Wulu
Wurung , Pangkan Paning Aku Mula Maleh Wurie Datu Teka Tane Gunung
Rumung “. Setelah mendengar pinai pemuda tadi, berkata Jarang, gencatan
senjata sebentar untuk berunding. Setelah buka perundingan dengan pemuda
tadi, mengapa pinai demikian bunyinya ? saya ini anak Dara Amas Tukal
BanangSauraibu Mirah Rawai Wali, yang masih dalam kandungan almarhum ibu
ku, ikut tertawan pada perang Sani Sarunai dulu. Almarhum ibu
menceritakan padaku perang sarunai itu, kepala ayahku dibawa mereka
sekarang ada padaku.
Mendengar
perkataan pemuda itu, jarang lalu menangis dan merangkul pemuda itu
sambil berkata, kau ini adik sepupu kami karena ibumu itu bersaudara
dengan ibu kami, kami adalah penyerang dari Gunung Rumung yang asal dari
Sani Sarunai yang hancur itu, mana ibu itu ?. pemuda itu menyahut, aku
ini bernama Paning ibuku sudah meninggal, mendengar perkataan Paning
ituJarang mengajak mereka membongkar kuburan ibu Paning dan tulang
belulangnya dikumpul dengan kepala ayah Paning yang terpenggal dulu dan
dibawa beserta adik sepupu mereka ini pulang ke Gunung Rumung.
Demikianlah secara singkat hasil penyerangan mereka ke negeri seberang.
Disini
ceritera kehidupan di Gunung Rumung sudah menyerang negeri seberang,
setelah mereka pulang dari negeri seberang mereka kembali mengadakan
pembangunan bermacam – macam bangunan pada masa itu antar lain : Panti,
Pantar, Tuga, Tungkup, Panungkulan, Balai, Parung, Malegai, Balai
Pidudusan dan candi. Maka sekarang ada bukti di daerah Amuntai Kabupaten
Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan yang disebut Candi
Laras. Itu bekas kerajaan Masyarakat Adat pada masa Pangunraun Jatuh
hidup di Gunung Rumung mendekat masa terakhir, kehidupan di Gunung
Rumung para Datuo dan para Dara semakin habis meninggal dunia tinggal
para Pangunraun yakni : Idung, Jarang, Tangkai, Talengo, Iban, Bangkas,
Patis, Anyawungan, Anggar, Paning. Dalam masa yang singkat datang lagi
penyerangan dari negeri seberang dibawah pimpinan Patih Gajah Mada.
Dalam pertempuran yang sengit Paning yang tidak ikut berkelahi dia
berusaha mereda pertempuran itu akhirnya dapat ditengahi, sehingga
berdamailah mereka dengan perjanjian :
1. Masyarakat adat masih berhak mengatur tata kehidupan mereka di Gunung Rumung.
2. Masyarakat adat diharuskan membayar upeti setiap tahun ke negeri seberang.
3. Agama Hindu harus diperkenankan berbaur dengan pengaturan adat.
4. Ajaran agama Hindu di bidang tata kenegaraan harus diterima oleh masyarakat adat.
5. Pengaturan kehidupan berbentuk kerajaan, tapi dibawah kerajaan negeri seberang, penmgaturanya dibagi tiga :
a. Dibidang agama dan adat istiadat diatur oleh Demang
b. Dibidang pertahanan dan keamanan diatur oleh Tamanggung
c. Dibidang sisial ekonomi, budaya dan lingkungan hidup dan lain – lain diatur oleh Patinggi.
Setelah
diakui bersama permufakatan ini lalu mengangkat sumpah supaya sama –
sama mentaati perjanjian itu karena waktu itu belum ada tulis menulis
karena belum ada pendidikan abjad dan rumah sekolah. Dari hasil
musyawarah ini Paning digelar oleh sudaranya ” Paning helang Ranu, Turus
Helang Watang ” setelah selesai mengangkat sumpah pulanglah Patih Gajah
Mada ke negeri seberang dengan meninggal para pendeta Hindu. Maka
berbaurlah adat istiadat dan peraturan yang ditinggal Nini Punyut ( Etuh
) dengan adat istiadat yang diajar agama Hindu. Timbullah tata
kemasyarakatan berkasta ( bertingkat ) yaitu tingkat tinggi, menengah
dan tingkat rendah, yang antara lain dalam bahasa Ma’anyan ” Putak Amau (
bangsawan ), Manrama’an ( Maratawan ), Putak Ime ( walah ) yang artinya
budak “. Setelah kehidupan masyarakat berkasta atau bertingkat ini
tidak sesuai dengan ajaran Nini Punyut maka mulailah kehancuran Gunung
Rumung karena dalam hati para Pangunraun tidak setuju hidup berkasta itu
kerena banyak hak azazi yang diajar Nini Punyut terlanggar antara lain :
Azazi para Walah (budak), suram oleh para bangsawan oleh karena itu
berangsur – angsur (satu demi satu) Gunung Rumung akhirnya habis
menghilang atau dalam bahasa Ma’anyan gaib yang artinya lati tidak tahu
tempatnya maka tidak ada kuburunya. Adapun Damung, Tamanggung, patinggi
yang terakhir memegang pimpinan di Gunung Rumung ini dalam ceritera
nenek dulu yaitu :
1. Damung Mangkurap
2. Tamanggung Jaya Sungkat
3. Patinggi Tambing Baya raya
Setelah
para Pangunraun habis menghilang ( Gaib ) berangsur – angsur keadaan
Gunung Rumung mundur lalu mulai perpecahan. Damung Mangkurap membawa
sebagian pindah ke Kayu Tangi di Martapura, Tamanggung Jaya Sungkat
membawa sebagian masyarakat pindah ke Hulu Tabalong yaitu daerah Dayak
Bukit Labuhan, mereka disebut Banua Lima. Patinggi Tambing Baya Raya
membawa sebagian masyarakat ke daerah Sungai Patai yang disebut sekarang
Barito Timur. Demikian perpecahan Gunung Rumung menurut ceritera nenek
yang dapat saya uraikan disini.
Jadi yang dibawa Patinggi Tambing Baya raya ini pecah menjadi 3 (tiga) wilayah semula disebut :
1. Paju Epat
2. Kampung Sapuluh
3. Dayu
Nah
diselidiki dari bahasa sangat menetukan, Ma’anyan Banua Lima dan Banjar
masih berasal dari serumpun bahasa karena masih banyak persamaan, jadi
dapat saya percaya ceritera nenek itu mungkin benar suku – suku ini
berasal dari 1 (satu) keturunan yaitu Gunung Rumung.
F. RIWAYAT PATINGGI TAMBING BAYA RAYA MEMBAWA MASYARAKATNYA KE PATAI SERTA ADAT BUDAYANYA.
Setelah
mereka sampai sungai Patai mereka mulai membabat hutan dengan
mengorbankan berbagai binatang peliharaan yang mereka bawa dari Gunung
Rumung antara lain kerbau, babi, ayam dan lain – lain untuk darahnya
pengalas tanah air yang baru mereka masuki ini karena daerah ini hutan
belantara. Menurut adat dan aturan yang diajar Nini Punyut ( Etuh ) dulu
waktu mereka pindah dari Laliku Maeh ke Sani Sarunai dulu harus
mengorbankan ternak untuk darahnya mengalas tanah air yang baru mereka
masuki, untuk tanah air yang baru mereka masuki itu bisa memberi
ketenangan dan penghasilan yang melimpah ruah demi kehidupan mereka.
Demikian
mereka memulai tata kehidupan ditempat baru ini, mulailah mereka
membuat lading, kebun buah – buahan dan lain – lain dengan bergotong
royong bersama – sama yang disebut ” Anrau Iram Saluk Matu ” serta
memulai mengusaha hasil hutan antra lain rutan diambil untuk bahan
anyaman membuat bakul , keranjang, tikar, lampit, lanjung dan lain –
lain guna perlengkapan perkakas rumah tangga. Bakul untuk piring nasi
disebut ” Tana’ihan “” Wange Luen ” dari tempurung juga dibelah dibuat
jadi sendok gulai disebut ” Pisabuk Luen ” dari kayu dibuat (Dibelah)
dan bibikin tipis ujung seperti papan, bulat pangkal untuk sendok nasi
disebut ” Waruh ” untuk mengambil air dari kali atau dari sumur dibuat
dari buah kelapa tua, dibikin lobang dimukanya selolos ibu jari buah
kelapa tersebut direndam dalam air sampai hancur membusuk isinya
kemudian baru dibersihkan dibikin tutup bundar kulit kelapa lain dan
diberi lobang kecil sepotong belahan kayu kecil dan panjangnya kira –
kira 5 cm, lalu ikat kedua ujung rotan kecil tadi pada tengah potongan
kayu tadi dan masukan kedalam lobang tempurung yang lolos ibu jari tadi,
dan lipatan rotan ujungnya masukan kedalam lobang tutupnya sehingga
bisa dijinjing dari ujung lipatan rotan tadi. Alat pengambil air ini
disebut ” Wangku “.
Hasil
hutan lainnya antara lain membikin perahu yang seperti sampan (banawa)
dipakai mereka menyeberang dari Gunung Rumung untuk menyerang negeri
seberang dulu hanya perahu ini tidak bersayap, ini adalah alat
transportasi air yang disebut ” Jukung ” . Maka sampai sekarang terkenal
jukung patai dan sampai sekarang ramai diperjual belikan sebagai sumber
usaha pertama yang membudaya pada suku masyarakat adat Ma’anyan, suku
lain adalah meniru dari suku ini. Mengenai transportasi darat belum ada
kepandaian selain menjinjing, memikul dan memapak ke punggung dengan
kekuatan tenaga. Alat penerang mereka diambil dari dari damar dihutan
dan mereka tumbuk jadi tepungdijemur sampai kering, dibungkus dengan
daun pisang diikat, pangkalnya terbuka ujung atas dan dibikin memanjang
seperti ruas bambu, tempat menyalakannya dibuat papan dari kayu ± 50 cm
ditengahnya dipahat lobang 5 cm persegi, dilobang ini didirikan patung ±
40 cm – 50 cm didata patung dibuat lobang lagi ± 4 cm persegi pada
lobang ini dimasukan 1 (satu) buah potongan kayu dibelah dua yang
panjangnya ± 20 cm – 25 cm sebagai tanggannya, diantara kedua tangan ini
dijepit bungkusan damar tadi baru dinyalakan, ini disebut ” Jangkaramai
“.” Teluk Ma’anyan ” selama 7 hari 7 malam Damung Baning bertapa dengan
rakit gedang pisang yang besar – besar tujuh potong gedang pisang untuk
membuat rakit.
Pada
malam ke 7 (tujuh ) angin rebut, guntur petir, hujan lebat, tiba – tiba
muncul dari dalam air diteluk tersebut perlahan – lahan kepala manusia
lengkap dengan lawung lawai semakin lama semakin keluar badannya.
Setelah dilihat seorang wanita cantik lengkap dengan pakaian dukunnya
lalu minta disambut oleh Damung Baning, gong tempatnya duduk dan
kangkanung tempatnya berpijak tujuh buah, namun terlepas 2 (dua) hanya 5
(lima) yang sempat diangkat. Itulah asal Agung Garinsingan, Kangkanung
Nyiang Lengan, pusaka orang Dayak Ma’anyan tapi benda tersebut entah
dimana sekarang tidak diketahui tempatnya. Adapun wanita tadi sengaja
diberi Dewa Dewi untuk Dukun Balian Pangunraun, guna melaksnakan adat
istiadat yang menyangkut roh tetesan ke lima dan roh tetesan ke enam
dari tanah kejadian dulu ( di Tane Tipak Sulau )
Nama
wanita ini ” Gumantartutup ” ayahnya Dewa, Damung Ulin, Uria Rajadina
ibunya, Dewi Bintang Wayang Putri Igal Gamung. Ceritera inilah asal usul
Wadian Rama dan dari pertapaan Damung Baning ini baru mendapat nama
Suku Dayak Ma’anyan sebelumnya disebut Suku Dayak Pangunraun. Sesudah
semua mengakui nama sukunya, Putri Gumantartutup ini mulailah Ma’anyan
bertebaran Damung Baning, paris Mawuyung, Tunjung Aneh Matu, mangku
Jaya, ke Paju Epat, Tamanggung Sangar Wasi, ke kampong sapuluh, Damung
jaya Abeh ke Dayu, Ngabe Timpang ke Banua Lima.
Meskipun
bertebaran, tetap sukunya Dayak Ma’anyan pada pertengahan penjajahan
Hindu dari Jawa, datang dari Timur Tengah, Uria Pitu ( 7 ) mereka ini
panglima perang dari Timur Tengah sengaja datang untuk mengajar ilmu
perang kepada kita. Ilmu yang diajarkan silat dan ilmu kekebalan
terhadap senjata tajam. Uria Pitu ( Panglima Perang ) ini bersaudara
sebanyak 7 (tujuh) orang yaitu :
tempurung
kelapa untuk tempat gulai disebut Kalau untuk jalan malam tidak bisa
mamakai damar tersebut, tapi diambil teras kayu kering dijemur kering –
kering baru dinyalakan pada malam hari bila mau berjalan ini disebut ”
Belun ” tapi kalau di Sani Sarunai dulu bila mereka mau berjalan malam
mereka mencari sepotong kayu rapuk yang dibalut oleh cendawan sinar yang
disebut ” Kulat Kumala ” itu untuk mereka berjalan malam. Perlu saya
terangkan baru setelah mereka di Patai ini mereka mulai mengenal makan
garam karena dibawa oleh pedagang suku Bakumpai di negeri Patai ini,
Damung Baning bertapa disebuah teluk muara Sei Telang dan Siung, teluk
yang besar disebut
1. Uria Damung Napulangit, mengajar ke Paju Epat
2. Uria Puneh, mengajar mudik Barito
3. Uria Renda, mengajar ke kampong sapuluh sampai dengan Banua Lima
4. Uria Ratau, mengajar ke Dayu, Paku Karau, Lawangan
5. Uria Biring ( Maholi ), mengajar ke Tabalong, Labuhan, halong, Balangan sampai dengan Dusun Tumang
6. Uria Bunan, mengajar ke Martapura sampai dengan Banjarmasin
7. Uria Pulanggiwa, mengajar ke Kapuas dan Kahayan
Untuk lebih jelasnya keturunan dari ke tujuh uria
diatas, dapat anda lihat pada Jereh ( Silsilah ) keturunan yang saya
lampirkan pada buku ini.
Sampai disisni ceritera asal usul Dayak Ma’anyan yang
saya ingat dari ceritera almarhum nenek saya Raden Buntu ( Tu Medan
atau Ibu Pananda Ch. Luran ). Nenek ini anak Raden Suta Negara ( cucu
Ronggo Suta Uno ) di kampung Telang Lama, yakni yang empunya Tamak Mas
yang ada di Telang Lama sekarang. Adapun saya yang mengurai dan sebagai
nara sumber ini adalah anak A. Guse adik perempuan dari Ch. Luran (Bp.
Gubib) dan yang membukukan ceritera ini adalah anak M. Ruhini ( cucu
dari A. Guse ).
salam hormat
BalasHapusibu naida ingin berkenalan. Penulis novel yang merasa ada hubungannya dengan kisah Datu Tatayun. Mohon kontak 082148124024