Selasa, 05 November 2013

AGAMA DAN NEGARA

AGAMA DAN NEGARA
Istilah “Negara” ini adalah terjemahan dari kata asing yaitu  state (bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata-kata asing itu pun diambil dari kata status atau statum (bahasa Latin) yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminologi, Negara adalah organisasi tertinggi di antara  kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu dan hidup dalam suatu daerah tertentu, mempunyai sistem pemerintahan yang berdaulat dimana terdapat kekuasaan secara sah yang diatur oleh hukum. Sehingga unsur pembentuk Negara yaitu masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), adanya pemerintahan,[1] dan adanya pengakuan dari Negara lain (secara pengakuan de facto dan pengakuan de jure).[2] 
                Menurut Aristoteles munculnya Negara tidak dapat dipisahkan dari watak politik manusia. Manusia adalah zoon politicon, mahluk yang berpolitik itu adalah watak alamiahnya sehingga Negara dibutuhkan sebagai sarana untuk aktualisasi watak manusia. Aristoteles menganalogikan Negara sebagai organism tubuh. Negara lahir pada mulanya dalam bentuk yang sederhana ( primitife) kemudian berkembang menjadi kuat dan dewasa, ataupun suatu ketika dapat hancur atau tenggelam dalam sejarah. Formasi Negara terjadi dalam proses perkembangan  persekutuan hidup  sesuai dengan kodratnya. Negara terbentuk karena adanya manusia saling membutuhkan. Kebutuhan hidup yang tidak bisa terpenuhi secara sempurna apabila manusia tidak saling membutuhkan.  Itulah sebabnya dalam kehidupan kemasyarakatan dan Negara akan selalu terjadi hubungan saling ketergantungan antara individu dalam masyarakat. Ketika Negara bersifat organis, maka semua warga Negara berkewajiban  dan memiliki tanggungjawab memelihara persatuan dan kesatuan demi keutuhan Negara dan memlihara keamanan.
                Aristoteles juga mengatakan bahwa Negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, namun itu bukan berarti Negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Tujuan dibentuknya Negara adalah untuk mensejahterakan seluruh warga Negara bukan individu-individu tertentu ( seperti gagasan Plato), Negara berupaya memanusiakan manusia. Bentuk  Negara ideal yang dikonsepsikan oleh Aristoteles itu terkait erat dengan aspek moralitas.[3]
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.[4]
                Agama dan Negara adalah dua hal yang berbeda namun keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ketika agama merupakan sebuah tatanan yang menjadi filter manusia untuk melakukan sesuatu dalam setiap aspek kehidupan, demikaian pula halnnya dengan Negara yang menjadi tempat dan wadah bagi manusia itu sendiri untuk berkarya.
                Agama dan Negara dalam pakteknya seringkali bersisian namun acap kali bertolak belakang. Apa yang benar menurut Negara belum tentu sesuai dengan ajaran agama. Agama bagi kalangan tertentu kadang kala dijadikan alasan untuk membenarkan setiap tindak tanduk yang ujung-ujungnya hanya untuk kepentingan kelompok semata. Khususnya yang terjadi di Indonesia .
                Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pada pancasila dimana salah satu silanya menyatakan kebebasan beragama bagi seluruh rakyatnya, namun kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Hal ini terlihat dari  banyaknya Perda yang terkesan pro terhadap agama tertentu, namun membawa kerugian bagi penganut agama yang berbeda.  Penetapan Perda tersebut  seakan-akan mengesampingkan hak pemeluk agama lain.  Padahal seharusnnya agama menjadi filter bagi setiap tindak-tanduk penganutnya dan mengajarkan untuk saling menghormati.oleh karena itu seharusnya pemerintah benar-benar dapat memberikan solusi atau sebagai penengah antara masyarakat agama tidak memihak pada salah satu saja.
 


[1] www.andhikafrancisco.wordpress.com/2013/01/03/makalah-relasi-agama-dan-negara/, diakses pada tanggal 30 Oktober 2013 pukul 17.30 Wita.
[2] Gmcrime.blogspot.com/2010/04/unsure-unsur-terbentuknya-negara.html, diakses pada tanggal 30 Oktober 2013 pukul 17.30 Wita
[3] bnd Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal 41-46.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama